1MA02.Aisyah Nurlillah.T2
TUGAS 2
MATA
KULIAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
(PP-000207)
Dibuat oleh
Aisyah Nurlillah | 10822051
1MA02
Dosen pengampu : KURNIAWAN B.PRIANTO,
S.KOM.SH.MM
Link : https://journaleca.blogspot.com/2023/03/1ma02aisyah-nurlillaht2.html
PROGRAM
STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS
GUNADARMA DEPOK
Materi 6 – 7
Harmoni Kewajiban Dan Hak Negara
Dan Warganegara Dalam Demokrasi Yang Bersumbu Pada Kedaulatan
Rakyat Dan Musyawarah Untuk Mufakat
1. 1.Konsep dan Urgensi Harmoni
Kewajiban dan Hak Negara dan Warga Negara
Indonesia semenjak dahulu, tatkala
wilayah Nusantara ini diperintah raja-raja, kita lebih mengenal konsep
kewajiban dibandingkan konsep hak. Konsep kewajiban selalu menjadi landasan aksiologis
dalam hubungan rakyat dan penguasa. Rakyat wajib patuh kepada titah raja tanpa
reserve sebagai bentuk penghambaan total. Keadaan yang sama berlangsung tatkala
masa penjajahan di Nusantara, baik pada masa penjajahan Belanda yang demikian
lama maupun masa pendudukan Jepang yang relatif singkat. Horizon kehidupan
politik daerah jajahan mendorong aspek kewajiban sebagai postulat ide dalam
praksis kehidupan politik, ekonomi, dan sosial budaya. Lambat laun terbentuklah
mekanisme mengalahkan diri dalam tradisi budaya nusantara. Bahkan dalam tradisi
Jawa, alasan kewajiban mengalahkan hak telah terpatri sedemikian kuat. Mereka
masih asing terhadap diskursus hak.
Istilah kewajiban jauh lebih akrab
dalam dinamika kebudayaan mereka. Coba Anda cari bukti-bukti akan hal ini dalam
buku-buku sejarah perihal kehidupan kerajaan-kerajaan nusantara. Walaupun
demikian dalam sejarah Jawa selalu saja muncul pemberontakan-pemberontakan
petani, perjuangan-perjuangan kemerdekaan atau protes-protes dari wong cilik
melawan petinggi-petinggi mereka maupun tuantuan kolonial (Hardiman, 2011).
Aksi-aksi perjuangan emansipatoris itu antara lain didokumentasikan Multatuli
dalam buku Max Havelaar yang jelas lahir dari tuntutan hak-hak mereka.
Tak hanya itu, ide tentang Ratu
Adil turut memengaruhi lahirnya gerakan-gerakan yang bercorak utopis.
Perjuangan melawan imperialisme adalah bukti nyata bahwa sejarah kebudayaan
kita tidak hanya berkutat pada ranah kewajiban an sich. Para pejuang
kemerdekaan melawan kaum penjajah tak lain karena hak-hak pribumi dirampas dan
dijarah. Situasi perjuangan merebut kemerdekaan yang berpanta rei, sambung
menyambung dan tanpa henti, sejak perjuangan yang bersifat kedaerahan,
dilanjutkan perjuangan menggunakan organisasi modern, dan akhirnya perang
kemerdekaan memungkinkan kita sekarang ini lebih paham akan budaya hak daripada
kewajiban. Akibatnya tumbuhlah mentalitas yang gemar menuntut hak dan jika
perlu dilakukan dengan berbagai cara termasuk dengan kekerasan, akan tetapi
ketika dituntut untuk menunaikan kewajiban malah tidak mau.
Dalam sosiologi konsep ini dikenal dengan istilah “strong sense of entitlement”. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan hak dan kewajiban itu dan bagaimanakah hubungan keduanya. Hak adalah kuasa untuk menerima atau melakukan suatu yang semestinya diterima atau dilakukan oleh pihak tertentu dan tidak dapat oleh pihak lain mana pun juga yang pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa olehnya. Wajib adalah beban untuk memberikan sesuatu yang semestinya dibiarkan atau diberikan oleh pihak tertentu tidak dapat oleh pihak lain mana pun yang pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa oleh yang berkepentingan. Kewajiban dengan demikian merupakan sesuatu yang harus dilakukan (Notonagoro, 1975). Hak dan kewajiban merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan.
Menurut “teori korelasi” yang dianut oleh pengikut utilitarianisme, ada hubungan timbal balik antara hak dan kewajiban. Menurut mereka, setiap kewajiban seseorang berkaitan dengan hak orang lain, dan begitu pula sebaliknya. Mereka berpendapat bahwa kita baru dapat berbicara tentang hak dalam arti sesungguhnya, jika ada korelasi itu, hak yang tidak ada kewajiban yang sesuai dengannya tidak pantas disebut hak. Hal ini sejalan dengan filsafat kebebasannya Mill (1996) yang menyatakan bahwa lahirnya hak Asasi Manusia dilandasi dua hak yang paling fundamental, yaitu hak persamaan dan hak kebebasan. Hak kebebasan seseorang, menurutnya, tidak boleh dipergunakan untuk memanipulasi hak orang lain, demi kepentingannya sendiri. Kebebasan menurut Mill secara ontologis substansial bukanlah perbuatan bebas atas dasar kemauan sendiri, bukan pula perbuatan bebas tanpa kontrol, namun pebuatan bebas yang diarahkan menuju sikap positif, tidak mengganggu dan merugikan orang lain.
Atas dasar pemikiran tersebut, maka
jika hanya menekankan pada hak dan mengabaikan kewajiban maka akan melahirkan
persoalan-persoalan. Persoalan-persoalan apa sajakah yang akan muncul? Akankah
hal itu merugikan solidaritas dalam masyarakat? Akankah hak menempatkan
individu di atas masyarakat? Akankah hal itu kontraproduktif untuk kehidupan
sosial? Akankah ia memberi angin pada individualsme? Padahal, manusia itu
merupakan anggota masyarakat dan tidak boleh tercerabut dari akar sosialnya.
Hanya dalam lingkungan
masyarakatlah, manusia menjadi manusia dalam arti yang sesungguhnya. Dalam
sejarah peradaban umat manusia inovasi hanya muncul ketika manusia berhubungan
satu sama lain dalam arena sosial. Contoh, Roda pertama kali ditemukan di
Mesopotamia, yakni roda pembuat tembikar di Ur pada 3500 tahun SM. Selanjutnya
pemakaian roda untuk menarik kereta kuda ditemukan di selatan Polandia pada
tahun 3350 SM. Roda pada awalnya hanya terbuat dari kayu cakram yang dilubangi
untuk as. Sampai Celtic memperkenalkan pemakaian pelek besi di sekitar roda. Model
Celtic ini digunakan sampai tahu 1870-an tanpa perubahan yang berarti sampai
ditemukakannya ban angin dan ban kawat. Sampai sekarang roda digunakan secara
luas mulai dari sepeda sampai turbin pesawat.
Muncul pertanyaan, apakah dengan mengakui hak-hak manusia berarti menolak masyarakat? Mengakui hak manusia tidak sama dengan menolak masyarakat atau mengganti masyarakat itu dengan suatu kumpulan individu tanpa hubungan satu sama lain. Yang ditolak dengan menerima hak-hak manusia adalah totaliterisme, yakni pandangan bahwa negara mempunyai kuasa absolut terhadap warganya. Paham ini sempat dianut oleh negara Fasis Jerman dibawah Hitler dan Italia dibawah Musolini, di mana negara mempunyai kuasa absolut terhadap seluruh warga negaranya, serta Jepang pada masa Teno Heika, yang menempatkan Kaisar sebagai pemilik kuasa absolut terhadap rakyatnya (Alisjahbana, 1978). Dengan demikian pengakuan hak-hak manusia menjamin agar negara tidak sampai menggilas individu-individu.
Kalah dan Menang menceritakan
peristiwa-peristiwa selama Perang Dunia II, pendudukan Jepang di Indonesia
serta perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan. Roman ini
mempertentangkan jiwa humanisme dalam bentuk seorang cendekiawan Swiss dengan
Roman jiwa bushido Jepang dalam bentuk seorang samurai. Bagaimana kisah
selanjutnya? Berdasarkan uraian di atas, konsep apa yang perlu diusung dalam
kehidupan sosial dan politik Indonesia? Konsep yang perlu diusung adalah
menyeimbangkan dalam menuntut hak dan menunaikan kewajiban yang melekat padanya.
Yang menjadi persoalan adalah
rumusan aturan dasar dalam UUD NRI Tahun 1945 yang menjamin hak-hak dasar warga
negara, sebagian besar tidak dibarengi dengan aturan dasar yang menuntut
kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi. Padahal sejatinya dalam setiap hak
melekat kewajiban, setidak-tidaknya kewajiban menghormati hak orang lain. Coba
Anda periksa naskah UUD NRI Tahun 1945, pasal-pasal mana saja yang berisi
aturan dasar tentang hak dan sekaligus juga berisi aturan dasar mengenai
kewajiban warga negara. Jika hubungan warga negara dengan negara itu bersifat
timbal balik, carilah aturan atau pasal–pasal dalam UUD NRI 1945 yang menyebut
hak-hak negara dan kewajiban negara terhadap warganya.
Sebagai contoh hak dan kewajiban
warga negara yang bersifat timbal balik atau resiprokalitas adalah hak warga
negara mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak (Pasal 27 Ayat 2, UUD
1945). Atas dasar hak ini, negara berkewajiban memberi pekerjaan dan
penghidupan bagi warga negara. Untuk merealisasikan pemenuhan hak warga negara
tersebut, pemerintah tiap tahun membuka lowongan pekerjaan di berbagai bidang
dan memberi subsidi kepada rakyat. Guna merealisasikan kewajiban warga negara,
negara mengeluarkan berbagai kebijakan dan peraturan yang mengikat warga negara
dan menjadi kewajiban warga negara untuk memenuhinya.
Salah satu contoh kewajiban warga
negara terpenting saat ini adalah kewajiban membayar pajak (Pasal 23A, UUD
1945). Hal ini dikarenakan saat ini pajak merupakan sumber penerimaan negara
terbesar dalam membiayai pengeluaran negara dan pembangunan. Tanpa adanya
sumber pendapatan pajak yang besar maka pembiayaan pengeluaran negara akan
terhambat. Pajak menyumbang sekitar 74,63 % pendapatan negara.
Jadi membayar pajak adalah contoh
kewajiban warga negara yang nyata di era pembangunan seperti sekarang ini.
Dengan masuknya pendapatan pajak dari warga negara maka pemerintah negara juga
akan mampu memenuhi hak warga negara yakni hak mendapatkan penghidupan yang
layak.
1. 2.Alasan Mengapa Diperlukan Harmoni Kewajiban dan Hak Negara dan Warga
Negara Indonesia
Untuk mencapai
keseimbangan antara hak dan kewajiban, dengan cara mengetahui posisi diri kita
sendiri. Sebagai seorang warga Negara harus tau hak dan kewajibannya. Seperti
yang sudah tercantum dalam hukum dan aturan-aturan yang berlaku. Jika hak dan
kewajiban seimbang dan terpenuhi, maka kehidupan masyarakat akan aman
sejahtera. Hak dan kewajiban di Indonesia ini tidak akan pernah seimbang,
apabila masyarakat tidak bergerak untuk merubahnya. Oleh karena itu,
diperlukannya harmoni kewajiban dan hak Negara dan warga Negara agar
terciptanya kehidupan bernegara yang harmonis dan berkesinambungan antara
kepentingan rakyat dalam pemenuhan hak dan kewajibannya oleh Negara.
1. 3.Menggali Sumber Historis, Sosiologis, Politik tentang Harmoni Kewajiban
dan Hak Negara dan Warga Negara Indonesia
1. Sumber Historis
Secara historis perjuangan
menegakkan hak asasi manusia terjadi di dunia Barat (Eropa). Adalah John Locke,
seorang filsuf Inggris pada abad ke-17, yang pertama kali merumuskan adanya hak
alamiah (natural rights) yang melekat pada setiap diri manusia, yaitu hak atas
hidup, hak kebebasan, dan hak milik. Coba Anda pelajari lebih jauh ihwal
kontribusi John Locke terhadap perkembangan demokrasi dan hak asasi manusia.
Perkembangan selanjutnya ditandai
adanya tiga peristiwa penting di dunia Barat, yaitu Magna Charta, Revolusi
Amerika, dan Revolusi Perancis. Anda tentu saja telah mengenal ketiga peristiwa
besar tersebut. Namun agar pemahaman Anda semakin baik, simaklah ulasan singkat
dari ketiga peristiwa tersebut berikut ini.
a. Magna Charta (1215)
Piagam perjanjian antara Raja John
dari Inggris dengan para bangsawan. Isinya adalah pemberian jaminan beberapa
hak oleh raja kepada para bangsawan beserta keturunannya, seperti hak untuk
tidak dipenjarakan tanpa adanya pemeriksaan pengadilan. Jaminan itu diberikan
sebagai balasan atas bantuan biaya pemerintahan yang telah diberikan oleh para
bangsawan. Sejak saat itu, jaminan hak tersebut berkembang dan menjadi bagian
dari sistem konstitusional Inggris.
b. Revolusi Amerika (1276)
Perang kemerdekaan rakyat Amerika
Serikat melawan penjajahan Inggris disebut Revolusi Amerika. Declaration of
Independence (Deklarasi Kemerdekaan) Amerika Serikat menjadi negara merdeka
tanggal 4 Juli1776 merupakan hasil dari revolusi ini.
c. Revolusi Prancis (1789)
Revolusi Prancis adalah bentuk perlawanan rakyat Prancis kepada rajanya sendiri (Louis XVI) yang telah bertindak sewenang-wenang dan absolut. Declaration des droits de I’homme et du citoyen (Pernyataan Hak-Hak Manusia dan Warga Negara) dihasilkan oleh Revolusi Prancis. Pernyataan ini memuat tiga hal: hak atas kebebasan (liberty), kesamaan (egality), dan persaudaraan (fraternite).
Dalam perkembangannya, pemahaman mengenai HAM makin luas. Sejak permulaan abad ke-20, konsep hak asasi berkembang menjadi empat macam kebebasan (The Four Freedoms). Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Presiden Amerika Serikat, Franklin D. Rooselvelt. Keempat macam kebebasan itu meliputi:
a. kebebasan untuk beragama
(freedom of religion),
b. kebebasan untuk berbicara dan
berpendapat (freedom of speech),
c. kebebasan dari kemelaratan
(freedom from want), dan
d. kebebasan dari ketakutan
(freedom from fear).
Hak asasi manusia kini sudah
diakui seluruh dunia dan bersifat universal, meliputi berbagai bidang kehidupan
manusia dan tidak lagi menjadi milik negara Barat. Sekarang ini, hak asasi
manusia telah menjadi isu kontemporer di dunia. PBB pada tanggal 10 Desember
1948 mencanangkan Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia).
Bagaimana dengan sejarah
perkembangan HAM di Indonesia? Pemahaman HAM di Indonesia sebagai tatanan
nilai, norma, sikap yang hidup di masyarakat dan acuan bertindak pada dasarnya
berlangsung sudah cukup lama. Perkembangan pemikiran dan pengaturan HAM di
Indonesia dibagi dalam dua periode (Manan, 2001), yaitu periode sebelum
kemerdekaan (1908–1945) dan periode setelah kemerdekaan (1945–sekarang).
Pada tahun 1997, Interaction
Council mencanangkan suatu naskah, berjudul Universal Declaration of Human
Responsibilities (Deklarasi Tanggung Jawab Manusia). Naskah ini dirumuskan oleh
sejumlah tokoh dunia seperti Helmut Schmidt, Malcom Fraser, Jimmy Carter, Lee
Kuan Yew, Kiichi Miyazawa, Kenneth Kaunda, dan Hassan Hanafi yang bekerja
selama sepuluh tahun sejak bulan Maret 1987. Mengapa muncul deklarasi ini?
Dinyatakan bahwa deklarasi ini diadakan karena di Barat ada tradisi menjunjung
tinggi kebebasan dan individualis, sedang di dunia Timur, konsep tanggung jawab
dan komunitas lebih dominan. Konsep kewajiban berfungsi sebagai penyeimbang
antara kebebasan dan tanggung jawab. Hak lebih terkait dengan kebebasan, sedang
kewajiban terkait dengan tanggung jawab. Tanggung jawab merupakan sikap moral
berfungsi sebagai kendala alamiah dan sukarela terhadap kebebasan yang dimiliki
orang lain.
Dalam setiap masyarakat tiada kebebasan tanpa pembatasan. Maka dari itu lebih banyak kebebasan yang kita nikmati, lebih banyak pula tanggung jawab terhadap orang lain maupun diri sendiri. Lebih banyak bakat yang kita miliki lebih besar tanggung jawab kita untuk mengembangkannya. Dihimbau agar hak atas kebebasan tidak menuju pada sikap hanya mementingkan diri sendiri tanpa mengindahkan kebebasan orang lain. Dianjurkan agar orang yang memiliki hak juga berusaha aktif agar orang lain juga dapat menikmati hak itu.
Dikatakan pula bahwa “kita harus
melangkah dari ‘kebebasan untuk tidak peduli’ menuju ‘kebebasan untuk
melibatkan diri’”.
Prinsip dasar deklarasi ini adalah
tercapainya kebebasan sebanyak mungkin, tetapi pada saat yang sama berkembang
rasa tanggung jawab penuh yang akan memungkinkan kebebasan itu tumbuh. Untuk
mencari keseimbangan antara hak dan kewajiban, ada suatu kaidah emas (Golden
Rule) yang perlu diperhatikan yakni. “Berbuatlah terhadap orang lain,
seperti Anda ingin mereka berbuat terhadap Anda”.
Dalam bagian Preambule naskah
dikatakan bahwa terlalu mengutamakan hak secara ekslusif dapat menimbulkan
konflik, perpecahan, dan pertengkaran tanpa akhir, di lain pihak mengabaikan
tanggung jawab manusia dapat menjurus ke chaos (Budiardjo, 2008).
2. Sumber Sosiologis
Akhir-akhir ini kita menyaksikan
berbagai gejolak dalam masyarakat yang sangat memprihatinkan, yakni munculnya
karakter buruk yang ditandai kondisi kehidupan sosial budaya kita yang berubah
sedemikian drastis dan fantastis. Bangsa yang sebelumnya dikenal penyabar,
ramah, penuh sopan santun, dan pandai berbasa-basi sekonyong-konyong menjadi
pemarah, suka mencaci, pendendam, perang antar kampung dan suku dengan tingkat
kekejaman yang sangat biadab. Bahkan yang lebih tragis, anakanak kita yang
masih duduk di bangku sekolah pun sudah dapat saling menyakiti. Bagaimana kita
dapat memahami situasi semacam ini? Situasi yang bergolak serupa ini dapat
dijelaskan secara sosiologis karena ini memiliki kaitan dengan struktur sosial
dan sistem budaya yang telah terbangun pada masa yang lalu.
Mencoba membaca situasi pasca
reformasi sekarang ini terdapat beberapa gejala sosiologis fundamental yang
menjadi sumber terjadinya berbagai gejolak dalam masyarakat kita (Wirutomo,
2001). Pertama, suatu kenyataan yang memprihatinkan bahwa setelah tumbangnya
struktur kekuasaan “otokrasi” yang dimainkan Rezim Orde Baru ternyata bukan
demokrasi yang kita peroleh melainkan oligarki di mana kekuasaan terpusat pada
sekelompok kecil elit, sementara sebagian besar rakyat (demos) tetap jauh dari
sumber-sumber kekuasaan (wewenang, uang, hukum, informasi, pendidikan, dan
sebagainya). Kedua, sumber terjadinya berbagai gejolak dalam masyarakat kita
saat ini adalah akibat munculnya kebencian sosial budaya terselubung
(sociocultural animosity).
Gejala ini muncul dan semakin
menjadi-jadi pasca runtuhnya rezim Orde Baru. Ketika rezim Orde Baru berhasil
dilengserkan, pola konflik di Indonesia ternyata bukan hanya terjadi antara
pendukung fanatik Orde Baru dengan pendukung Reformasi, tetapi justru meluas
menjadi konflik antarsuku, antarumat beragama, kelas sosial, kampung, dan
sebagainya. Sifatnya pun bukan vertikal antara kelas atas dengan kelas bawah
tetapi justru lebih sering horizontal, antarsesama rakyat kecil, sehingga
konflik yang terjadi bukan konflik yang korektif tetapi destruktif (bukan
fungsional tetapi disfungsional), sehingga kita menjadi sebuah bangsa yang menghancurkan
dirinya sendiri (self destroying nation).
Ciri lain dari konflik yang
terjadi di Indonesia adalah bukan hanya yang bersifat terbuka (manifest
conflict) tetapi yang lebih berbahaya lagi adalah konflik yang tersembunyi
(latent conflict) antara berbagai golongan. Socio-cultural animosity adalah
suatu kebencian sosial budaya yang bersumber dari perbedaan ciri budaya dan
perbedaan nasib yang diberikan oleh sejarah masa lalu, sehingga terkandung
unsur keinginan balas dendam. Konflik terselubung ini bersifat laten karena
terdapat mekanisme sosialisasi kebencian yang berlangsung di hampir seluruh
pranata sosial di masyarakat (mulai dari keluarga, sekolah, kampung, tempat
ibadah, media massa, organisasi massa, organisasi politik, dan sebagainya).
Jika menengok pada proses integrasi bangsa Indonesia, persoalannya terletak
pada kurangnya mengembangkan kesepakatan nilai secara alamiah dan partisipatif
(integrasi normatif) dan lebih mengandalkan pendekatan kekuasaan (integrasi
koersif).
Atas dasar kenyataan demikian maka
cita-cita reformasi untuk membangun Indonesia Baru harus dilakukan dengan cara
apa? Bagaimana pandangan Anda tentang hal tersebut? Ada satu pandangan bahwa
Indonesia baru harus dibangun dari hasil perombakan terhadap keseluruhan
tatanan kehidupan masa lalu. Inti dari cita-cita tersebut adalah sebuah
masyarakat sipil demokratis yang mampu mengharmonikan kewajiban dan hak negara
dan warga negara. Entitas negara persatuan dari bangsa multikultur seperti
Indonesia hanya bisa bertahan lebih kokoh jika bediri di atas landasan
pengelolaan pemerintahan yang sanggup menjamin kesimbangan antara pemenuhan
prinsip kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan, yang berlaku bagi segenap
warga dan elemen kebangsaan.
3. Sumber Politik
Sumber
politik yang mendasari dinamika kewajiban dan hak negara dan warga negara
Indonesia adalah proses dan hasil perubahan UUD NRI 1945 yang terjadi pada era
reformasi. Pada awal era reformasi (pertengahan 1998), muncul berbagai tuntutan
reformasi di masyarakat. Tuntutan tersebut disampaikan oleh berbagai komponen
bangsa, terutama oleh mahasiswa dan pemuda. Mari kita fokuskan perhatian pada
tuntutan untuk mengamandemen UUD NKRI 1945 karena amat berkaitan dengan
dinamika penghormatan dan penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Adanya
tuntutan tersebut didasarkan pada pandangan bahwa UUD NKRI 1945 belum cukup
memuat landasan bagi kehidupan yang demokratis, pemberdayaan rakyat, dan
penghormatan HAM. Di samping itu, dalam tubuh UUD NRI 1945 terdapat pasal-pasal
yang menimbulkan penafsiran beragam, atau lebih dari satu tafsir (multitafsir)
dan membuka peluang bagi penyelenggaraan negara yang otoriter, sentralistik,
tertutup, berpotensi tumbuhnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Penyelenggaraan negara yang demikian itulah yang menyebabkan timbulnya
kemerosotan kehidupan nasional. Salah satu bukti tentang hal itu adalah
terjadinya krisis dalam berbagai bidang kehidupan (krisis multidimensional).
Dalam perkembangannya, tuntutan perubahan UUD NKRI 1945 menjadi kebutuhan
bersama bangsa Indonesia. Berdasarkan hal itu MPR hasil Pemilu 1999, sesuai
dengan kewenangannya yang diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 37 UUD NKRI 1945
melakukan perubahan secara bertahap dan sistematis dalam empat kali perubahan,
yakni (1) Perubahan Pertama, pada Sidang Umum MPR 1999; (2) Perubahan Kedua,
pada Sidang Tahunan MPR 2000; (3) Perubahan Ketiga, pada Sidang Tahunan MPR
2001; dan (4) Perubahan Keempat, pada Sidang Tahunan.
1. 4.Membangun Argumen tentang Dinamika dan Tantangan Harmoni Kewajiban dan
Hak Negara dan Warga Negara
Aturan dasar ihwal kewajiban dan
hak negara dan warga negara setelah Perubahan UUD NRI 1945 mengalami dinamika
yang luar biasa. Berikut disajikan bentuk-bentuk perubahan aturan dasar dalam
UUD NRI 1945 sebelum dan sesudah Amandemen tersebut.
1. Aturan Dasar Ihwal Pendidikan
dan Kebudayaan, Serta Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Ketentuan mengenai hak warga negara di bidang pendidikan semula diatur dalam Pasal 31 Ayat (1) UUD NRI 1945. Setelah perubahan UUD NRI 1945, ketentuannya tetap diatur dalam Pasal 31 Ayat (1) UUD NRI 1945, namun dengan perubahan. Perhatikanlah rumusan naskah asli dan rumusan perubahannya berikut ini.
Rumusan naskah asli: Pasal 31, (1) Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran. Rumusan perubahan Pasal 31, (1) Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
Perhatikanlah kedua rumusan
tersebut. Apa yang mengalami perubahan dari pasal tersebut? Perubahan pasal
tersebut terletak pada penggantian kata tiap-tiap menjadi setiap dan kata pengajaran
menjadi pendidikan. Perubahan kata tiap-tiap menjadi setiap merupakan
penyesuaian terhadap perkembangan bahasa Indonesia. Adapun perubahan kata
pengajaran menjadi pendidikan dimaksudkan untuk memperluas hak warga negara
karena pengertian pengajaran lebih sempit dibandingkan dengan pengertian
pendidikan.
Pendidikan adalah proses
menanamkan nilai-nilai, sedangkan pengajaran adalah proses mengalihkan
pengetahuan. Nilai-nilai yang ditanamkan kepada peserta didik lebih dari
sekedar pengetahuan. Aspek lainnya meliputi keterampilan, nilai dan sikap. Di
samping itu, proses pendidikan juga dapat berlangsung di tiga lingkungan
pendidikan, yaitu di keluarga, sekolah, dan masyarakat. Sedang pengajaran
konotasinya hanya berlangsung di sekolah (bahkan di kelas). Dengan demikian,
perubahan kata pengajaran menjadi pendidikan berakibat menjadi semakin luasnya
hak warga negara.
Perubahan UUD NRI Tahun 1945 juga
memasukkan ketentuan baru tentang upaya pemerintah dalam memajukan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Rumusannya terdapat dalam Pasal 31 Ayat (5) UUD NRI
Tahun 1945: “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan
peradaban serta kesejahteraan umat manusia”.
Adanya rumusan tersebut dimaksudkan
agar pemerintah berupaya memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK)
dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan memperkukuh persatuan
bangsa. Pencapaian bangsa di bidang iptek adalah akibat dihayatinya nilai-nilai
ilmiah. Namun, nilai-nilai ilmiah yang dihasilkan tetap harus menjunjung tinggi
nilai-nilai agama dan memperkukuh persatuan bangsa. Setujukah Anda dengan
pernyataan tersebut? Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah budaya harus
bersiap menyambut perkembangan dan kemajuan IPTEK.
Oleh karena budaya bangsa kita
sebagian besar masih berdasarkan budaya etnik tradisional, sedangkan IPTEK
berasal dari perkembangan budaya asing yang lebih maju, maka apabila
pertumbuhan budaya bangsa kita tidak disiapkan akan dapat terjadi apa yang
disebut kesenjangan budaya (cultural lag), yakni keadaan kehidupan bangsa
Indonesia yang bergumul dengan budaya baru yang tidak dipahaminya.
Dapatkah Anda memberikan contoh-contoh kesenjangan budaya yang kerap kali muncul pada masyarakat kita? Mengapa hal demikian terjadi? Kesenjangan budaya sudah diprediksi oleh William F. Ogburn (seorang ahli sosiologi ternama), bahwa perubahan kebudayaan material lebih cepat dibandingkan dengan perubahan kebudayaan non material (sikap, perilaku, dan kebiasaan). Akibatnya akan terjadi kesenjangan budaya seperti diungkapkan sebelumnya. Oleh karena itu, budaya bangsa dan setiap orang Indonesia harus disiapkan untuk menyongsong era atau zaman kemajuan dan kecanggihan IPTEK tersebut.
Negara juga wajib memajukan
kebudayaan nasional. Semula ketentuan mengenai kebudayaan diatur dalam Pasal 32
UUD NRI 1945 tanpa ayat. Setelah perubahan UUD NRI 1945 ketentuan tersebut
masih diatur dalam Pasal 32 UUD NRI 1945 namun dengan dua ayat. Perhatikanlah
perubahannya berikut ini. Rumusan naskah asli: Pasal 32: “Pemerintah memajukan
kebudayaan nasional Indonesia”. Rumusan perubahan: Pasal 32, (1) “Negara
memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan
menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai
budayanya”. (2) “Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai
kekayaan budaya nasional”. Perubahan ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan untuk
menempatkan kebudayaan nasional pada derajat yang tinggi.
Kebudayaan nasional merupakan identitas
bangsa dan negara yang harus dilestarikan, dikembangkan, dan diteguhkan di
tengah perubahan dunia. Benarkah demikian? Mengapa? Perubahan dunia itu pada
kenyataannya berlangsung sangat cepat serta dapat mengancam identitas bangsa
dan negara Indonesia. Kita menyadari pula bahwa budaya kita bukan budaya yang
tertutup, sehingga masih terbuka untuk dapat ditinjau kembali dan dikembangkan
sesuai kebutuhan dan kemajuan zaman. Menutup diri pada era global berarti
menutup kesempatan berkembang. Sebaliknya kita juga tidak boleh hanyut terbawa
arus globalisasi. Karena jika hanyut dalam arus globalisasi akan kehilangan
jati diri kita.
Jadi, strategi kebudayaan nasional
Indonesia yang kita pilih adalah sebagai berikut:
a. menerima sepenuhnya: unsur-unsur
budaya asing yang sesuai dengan kepribadian bangsa;
b. menolak sepenuhnya: unsur-unsur
budaya asing yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa;
c. menerima secara selektif: unsur
budaya asing yang belum jelas apakah sesuai atau bertentangan dengan
kepribadian bangsa.
2. Aturan Dasar Ihwal Perekonomian
Nasional dan Kesejahteraan Sosial
Bagaimana Ketentuan Mengenai
Perekonomian Nasional diatur dalam UUD NRI Tahun 1945? Sebelum diubah,
ketentuan ini diatur dalam Bab XIV dengan judul Kesejahteraan Sosial dan
terdiri atas 2 pasal, yaitu Pasal 33 dengan 3 ayat dan Pasal 34 tanpa ayat.
Setelah perubahan UUD NRI 1945, judul bab menjadi Perekonomian Nasional dan
Kesejahteraan Sosial, terdiri atas dua pasal, yaitu Pasal 33 dengan 5 ayat dan
Pasal 34 dengan 4 ayat.
Ambillah naskah UUD NRI 1945 dan
bacalah dengan seksama pasal-pasal yang dimaksud tersebut. Salah satu perubahan
penting untuk Pasal 33 terutama dimaksudkan untuk melengkapi aturan yang sudah
diatur sebelum perubahan UUD NRI 1945, sebagai berikut:
a. Pasal 33 Ayat (1) UUD NRI 1945:
menegaskan asas kekeluargaan;
b. Pasal 33 Ayat (2) UUD NRI 1945: menegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara.
c. Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI 1945:
menegaskan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
harus dikuasai negara.
Adapun ketentuan baru yang
tercantum dalam Pasal 33 Ayat (4) UUD NRI 1945 menegaskan tentang
prinsip-prinsip perekonomian nasional yang perlu dicantumkan guna melengkapi
ketentuan dalam Pasal 33 Ayat (1), (2), dan (3) UUD NRI 1945.
Mari kita bicarakan terlebih
dahulu mengenai ketentuan-ketentuan mengenai perekonomian nasional yang sudah
ada sebelum perubahan UUD NRI 1945. Bagaimana masalah kesejahteraan rakyat
diatur dalam UUD NRI Tahun 1945? Sebelum diubah Pasal 34 UUD NRI 1945
ditetapkan tanpa ayat. Setelah dilakukan perubahan UUD NRI 1945 maka Pasal 34
memiliki 4 ayat. Perubahan ini didasarkan pada kebutuhan meningkatkan jaminan
konstitusional yang mengatur kewajiban negara di bidang kesejahteraan sosial.
Adapun ketentuan mengenai
kesejahteraan sosial yang jauh lebih lengkap dibandingkan dengan sebelumnya
merupakan bagian dari upaya mewujudkan Indonesia sebagai negara kesejahteraan
(welfare state), sehingga rakyat dapat hidup sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaannya. Dalam rumusan tersebut terkandung maksud untuk lebih
mendekatkan gagasan negara tentang kesejahteraan dalam Pembukaan UUD NRI Tahun
1945 ke dalam realita kehidupan bangsa dan negara Indonesia.
Dalam Pembukaan UUD NRI Tahun
1945, perihal tujuan negara disebutkan: “...melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,...”.
Maka dalam Pasal 34 UUD NRI 1945 upaya memajukan kesejahteraan umum lebih
dijabarkan lagi, ke dalam fungsi-fungsi negara untuk:
a. mengembangkan sistem jaminan
sosial bagi seluruh rakyat;
b. memberdayakan masyarakat yang
lemah dan tidak mampu;
c. menyediakan fasilitas pelayanan
kesehatan yang layak;
d. menyediakan fasilitas pelayanan
umum yang layak.
Dalam hal ini negara Indonesia,
sebagai negara kesejahteraan, memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan
kebijakan negara di berbagai bidang kesejahteraan serta meningkatkan kualitas
pelayanan umum yang baik.
3. Aturan Dasar Ihwal Usaha
Pertahanan dan Keamanan Negara
Semula ketentuan tentang pertahanan negara menggunakan konsep pembelaan terhadap negara [Pasal 30 Ayat (1) UUD NRI 1945]. Namun setelah perubahan UUD NRI 1945 konsep pembelaan negara dipindahkan menjadi Pasal 27 Ayat (3) dengan sedikit perubahan redaksional. Setelah perubahan UUD NRI Tahun 1945, ketentuan mengenai hak dan kewajiban dalam usaha pertahanan dan keamanan negara [Pasal 30 Ayat (1) UUD NRI 1945] merupakan penerapan dari ketentuan Pasal 27 Ayat (3) UUD NRI 1945. Mengapa demikian? Karena upaya membela negara mengandung pengertian yang umum. Pertanyaannya adalah bagaimana penerapannya? Penerapannya adalah dengan memberikan hak dan kewajiban kepada warga negara dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.
Bagaimana usaha pertahanan dan
keamanan negara dilakukan? Pasal 30 Ayat (2) UUD NRI 1945 menegaskan sebagai
berikut: “Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem
pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai komponen utama, dan rakyat,
sebagai kekuatan pendukung”. Dipilihnya sistem pertahanan dan keamanan rakyat
semesta (Sishankamrata) dilatarbelakangi oleh pengalaman sejarah bangsa
Indonesia sendiri. Pengalaman yang bagaimana yang melatarbelakangi dipilihnya
Sishankamrata itu? Mari kita melakukan kilas balik sejarah (flash back) pada
salah satu faktor penting suksesnya revolusi kemerdekaan tahun 1945 dan
perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang terletak pada bersatu-padunya
kekuatan rakyat, kekuatan militer, dan kepolisian.
Dalam perkembangannya kemudian,
bersatu-padunya kekuatan itu dirumuskan dalam sebuah sistem pertahanan dan
keamanan negara yang disebut sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta.
Dengan dasar pengalaman sejarah tersebut maka sistem pertahanan dan keamanan
rakyat semesta tersebut dimasukkan ke dalam ketentuan UUD NRI Tahun 1945.
Tahukah Anda apa maksud upaya tersebut? Jawabannya adalah untuk lebih
mengukuhkan keberadaan sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta tersebut.
Di samping itu juga kedudukan
rakyat dan TNI serta Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dalam usaha
pertahanan dan keamanan negara makin dikukuhkan. Dalam hal ini kedudukan rakyat
adalah sebagai kekuatan pendukung, sedang TNI dan Polri sebagai kekuatan utama.
Sistem ini menjadi salah satu ciri khas sistem pertahanan dan keamanan
Indonesia yang bersifat semesta, yang melibatkan seluruh potensi rakyat warga
negara, wilayah, sumber daya nasional, secara aktif, terpadu, terarah, dan
berkelanjutan.
4. Aturan Dasar Ihwal Hak dan
Kewajiban Asasi Manusia
Penghormatan terhadap hak asasi
manusia pasca Amandemen UUD NRI 1945 mengalami dinamika yang luar biasa. Jika
sebelumnya perihal hakhak dasar warganegara yang diatur dalam UUD NRI 1945
hanya berkutat pada pasal 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, dan 34, setelah Amandemen
keempat UUD NRI 1945 aturan dasar mengenai hal tersebut diatur tersendiri di
bawah judul Hak Asasi Manusia (HAM).
Di samping mengatur perihal hak asasi manusia, diatur juga ihwal kewajiban asasi manusia. Aturan dasar perihal hak asasi manusia telah diatur secara detail dalam UUD NRI Tahun 1945. Coba Anda analisis pasal-pasal tersebut di atas. Hakhak asasi apa saja yang dijamin dalam UUD NRI Tahun 1945? Anda bandingkan dengan Deklarasi Hak Asasi Manusia Sedunia (Universal Declaration of Human Rights). Adakah kesamaan (commonality) di antara keduanya? Adakah hal yang spesifik yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 yang berbeda dengan ketentuan yang terdapat dalam The Universal Declaration of Human Rights? Dianutnya rezim HAM yang detail dalam UUD NRI Tahun 1945 menunjukan bahwa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa bersungguh-sungguh melakukan penghormatan terhadap HAM.
1. 5.Mendeskripsikan Esensi dan Urgensi Harmoni Kewajiban dan Hak Negara dan
Warga Negara
UUD NRI Tahun 1945 tidak hanya
memuat aturan dasar ihwal kewajiban dan hak negara melainkan juga kewajiban dan
hak warga negara. Dengan demikian terdapat harmoni kewajiban dan hak negara di
satu pihak dengan kewajiban dan hak warga negara di pihak lain. Apa esensi dan
urgensi adanya harmoni kewajiban dan hak negara dan warganegara tersebut? Untuk
memahami persoalan tersebut, mari kita pergunakan pendekatan kebutuhan warga
negara yang meliputi kebutuhan akan agama, pendidikan dan kebudayaan, perekonomian
nasional dan kesejahteraan rakyat, serta pertahanan dan keamanan.
1. Agama
Bangsa Indonesia dikenal sebagai
bangsa yang religius. Kepercayaan bangsa kita kepada Tuhan Yang Maha Esa telah
ada semenjak zaman prasejarah, sebelum datangnya pengaruh agama-agama besar ke
tanah air kita. Karena itu dalam perkembangannya, bangsa kita mudah menerima
penyebaran agama-agama besar itu. Rakyat bangsa kita menganut berbagai agama
berdasarkan kitab suci yang diyakininya. Undang-Undang Dasar merupakan dokumen
hukum yang mewujudkan cita-cita bersama setiap rakyat Indonesia. Dalam hal ini
cita-cita bersama untuk mewujudkan kehidupan beragama juga merupakan bagian
yang diatur dalam UUD. Ketentuan mengenai agama diatur dalam UUD NRI 1945 Pasal
29. Bacalah pasal tersebut. Mengapa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha
Esa? Bukankah dasar negara kita Pancasila? Mengapa hanya didasarkan pada satu
sila saja? Jika tidak memahami dasar pemikirannya, maka Anda akan merasa
bingung. Susunan dasar negara kita yaitu Pancasila bersifat hierarkis
piramidal. Artinya, urut-urutan lima sila Pancasila menunjukkan suatu rangkaian
tingkat dalam luasnya dan isi dalam sifatnya yang merupakan pengkhususan dari
sila-sila di mukanya.
Jadi, di antara lima sila
Pancasila ada hubungan yang mengikat satu dengan yang lainnya, sehingga
Pancasila merupakan suatu keseluruhan yang bulat. Kesatuan sila-sila Pancasila
yang memiliki susunan hierarkis piramidal itu harus dimaknai bahwa sila
Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar dari:
a. sila kemanusiaan yang adil dan
beradab,
b. persatuan Indonesia,
c. kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan
d. keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dari uraian tersebut tampak bahwa
sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan basis dari sila-sila Pancasila lainnya.
Jadi, paham Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi pandangan dasar dan bersifat primer
yang secara substansial menjiwai keseluruhan wawasan kenegaraan bangsa
Indonesia. Itulah sebabnya Pasal 29 Ayat (1) UUD NRI 1945 menegaskan bahwa
negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Maknanya adalah bahwa Ketuhanan
Yang Maha Esa (jiwa keberagamaan) harus diwujudkan dalam kerangka kehidupan
bernegara yang tersusun dalam UUD NRI 1945. Apa makna negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan untuk
beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu? Adanya jaminan kemerdekaan
memeluk agama dan beribadat selain diatur dalam Pasal 29 Ayat (2) juga dalam
Pasal 28E Ayat (1) UUD NRI 1945.
Seperti telah diungkapkan pada
uraian terdahulu, bahwa dalam perubahan UUD NRI 1945 dilakukan penambahan
ketentuan mengenai HAM. Satu di antaranya adalah ketentuan Pasal 29 Ayat (2)
mengenai kebebasan beragama dan beribadat yang dipertegas oleh Pasal 28E Ayat
(1) yang salah satu substansinya mengatur hal yang sama. Hal yang perlu kita
pahami adalah apa makna negara menjamin kemerdekaan untuk memeluk agama itu?
2. Pendidikan dan Kebudayaan
Pendidikan dan kebudayaan
merupakan dua istilah yang satu sama lain saling berkorelasi sangat erat.
Pendidikan adalah salah satu bentuk upaya pembudayaan. Melalui proses,
pendidikan kebudayaan bukan saja ditransformasikan dari generasi tua ke
generasi muda, melainkan dikembangkan sehingga mencapai derajat tertinggi
berupa peradaban. Dalam konteks ini apa sebenarnya tujuan pendidikan nasional
kita? Penjelasan tentang tujuan pendidikan nasional dapat kita temukan dalam
Pasal 31 Ayat (3) UUD NRI 1945. Cari dan bacalah pasal tersebut.
Rumusan pasal ini mengakomodasi
nilai-nilai dan pandangan hidup bangsa yang religius. Maknanya adalah bahwa
untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa,
harus dilakukan dengan meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia.
Dari rumusan Pasal 31 Ayat (3) UUD NRI 1945 juga terdapat konsep fungsi negara,
dalam hal ini pemerintah, yakni mengusahakan dan sekaligus menyelenggarakan
sistem pendidikan nasional. Jika kita menengok fungsifungsi negara (function of
the state) dalam lingkup pembangunan negara (state-building) cakupannya
meliputi hal-hal berikut ini.
a. Fungsi minimal: melengkapi
sarana dan prasarana umum yang memadai, seperti pertahanan dan keamanan, hukum,
kesehatan, dan keadilan.
b. Fungsi madya: menangani
masalah-masalah eksternalitas, seperti pendidikan, lingkungan, dan monopoli.
c. Fungsi aktivis: menetapkan
kebijakan industrial dan redistribusi kekayaan.
Berdasarkan klasifikasi fungsi negara tersebut, penyelenggaraan pendidikan termasuk fungsi madya dari negara. Artinya, walaupun bukan merupakan pelaksanaan fungsi tertinggi dari negara, penyelenggaraan pendidikan juga sudah lebih dari hanya sekedar pelaksanaan fungsi minimal negara. Oleh karena itu, penyelenggaraan pendidikan sangatlah penting. Pendidikan nasional merupakan perwujudan amanat UUD NRI tahun 1945 dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dalam UUSPN lebih lanjut dirinci bahwa penyelenggaraan sistem pendidikan nasional itu harus melahirkan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Berkaitan dengan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berkeinginan bahwa pada tahun 2025 pendidikan nasional menghasilkan INSAN INDONESIA CERDAS DAN KOMPETITIF (Insan Kamil/Insan Paripurna).
Kecerdasan yang kita maksud adalah
kecerdasan yang komprehensif. Artinya, bukan hanya cerdas intelektualnya,
melainkan juga memiliki kecerdasan spiritual, emosional, sosial, bahkan
kinestetis. Bersamaan dengan dimilikinya kecerdasan secara komprehensif, insan
Indonesia juga harus kompetitif.
3. Perekonomian Nasional dan
Kesejahteraan Rakyat
Sesuai semangat Pasal 33 Ayat (1)
UUD NRI Tahun 1945 asas perekonomian nasional adalah kekeluargaan. Apa makna
asas kekeluargaan? Kekeluargaan merupakan asas yang dianut oleh masyarakat
Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan yang salah satunya kegiatan
perekonomian nasional. Asas kekeluargaan dapat diartikan sebagai kerja sama
yang dilakukan lebih dari seorang dalam menyelesaikan pekerjaan, baik untuk
kepentingan pribadi maupun kepentingan umum.
Hasil pekerjaan bersama memberikan
manfaat yang dapat dinikmati secara adil oleh banyak orang.Tujuannya adalah
agar pekerjaan dapat cepat selesai dan memberi hasil lebih baik. Penerapan asas
kekeluargaan dalam perekonomian nasional adalah dalam sistem ekonomi
kerakyatan. Apa makna sistem ekonomi kerakyatan itu? Sistem ekonomi kerakyatan
adalah sistem ekonomi nasional yang berasas kekeluargaan, berkedaulatan rakyat,
bermoral Pancasila, dan menunjukkan pemihakan sungguh-sungguh pada ekonomi
rakyat. Sistem ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang bertumpu pada
kekuatan mayoritas rakyat. Dengan demikian sistem ini tidak dapat dipisahkan
dari pengertian “sektor ekonomi rakyat”, yakni sektor ekonomi baik sektor
produksi, distribusi, maupun konsumsi yang melibatkan rakyat banyak, memberikan
manfaat bagi rakyat banyak, pemilikan dan penilikannya oleh rakyat banyak.
4. Pertahanan dan Keamanan
Berdasarkan aturan dasar ihwal pertahanan dan keamanan Negara Pasal 30 Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 bahwa usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (Sishankamrata) oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), sebagai komponen utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung. Dengan demikian tampak bahwa komponen utama dalam Sishankamrata adalah TNI dan Polri. Coba Anda jelaskan apa tugas pokok dan fungsi TNI dan Polri dalam sistem pertahanan keamanan rakyat semesta? Adanya pengaturan tentang tugas pokok dan fungsi TNI dan Polri, baik dalam UUD NRI 1945 maupun dalam undang-undang terkait, diharapkan akan mampu meningkatkan profesionalisme kedua lembaga yang bergerak dalam bidang pertahanan dan keamanan negara. Mengenai adanya ketentuan dalam Pasal 30 Ayat (5) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa kedudukan dan susunan TNI dan Polri lebih lanjut diatur dengan undangundang, merupakan dasar hukum bagi DPR dan presiden untuk membentuk undang-undang. Pengaturan dengan undang- undang mengenai pertahanan dan keamanan negara merupakan konsekuensi logis dari menempatkan urusan pertahanan dan keamanan sebagai kepentingan rakyat.
Materi 8 – 9
HAKIKAT INSTRUMENTASI DAN PRAKSIS
DEMOKRASI INDONESIA BERLANDASKAN PANCASILA DAN UUD NKRI 1945
1. 1.Konsep dan
Urgensi Demokrasi yang Bersumber dari Pancasila
1. Hakikat Demokrasi
Apa yang dimaksud dengan demokrasi? Silahkan Anda deskripsikan yang ada
dipikiran Anda ketika mendengar kata demokrasi. Seringkali dalam kehidupan
sehari-hari kita mendengar ungkapan mengenai demokrasi. Dalam (Bintoro,
2006) istilah demokrasi secara sederhana sering muncul dalam ungkapan,
cerita atau mitos. Misalnya, orang Minangkabau membanggakan
tradisi demokrasi mereka, yang dinyatakan dalam ungkapan: “Bulat air di pembuluh, bulat
kata di mufakat”. Orang Jawa, secara samar-samar menunjukkan
tentang gagasan demokrasi dengan mengacu kebiasaan rakyat Jawa untuk pepe
(berjemur) di muka keraton bila mereka ingin mengungkapkan persoalan
hidupnya kepada Raja. Ada juga yang mencoba menjelaskan dari cerita
wayang, bahwa Bima atau Werkudara memakai mahkota yang dinamai Gelung
Mangkara Unggul, artinya sanggul (dandanan rambut) yang tinggi di
belakang. Hal ini diberi makna rakyat yang di belakang itu sebenarnya
unggul atau tinggi, artinya: berkuasa.
Berdasarkan beberapa pengantar di atas, sesungguhnya secara etimologis, demokrasi berasal dari Bahasa Yunani Kuno, yang terdiri atas dua kata, yaitu “ demos” dan “kratein”. Kata demos memiliki arti rakyat dan cratos memiliki makna pemerintahan. Jika kita hubungkan, maka dapat dipahami bahwa secara etimologi atau bahasa demokrasi adalah pemerintahan rakyat. Selain dari segi bahasa, pengertian demokrasi juga dikemukakan oleh banyak ahli. Dalam “The Advanced Learner’s Dictionary of Current English (Hornby, 1995) dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan democracy adalah “(1) country with principles of government in which all adult citizens share through their ellected representatives; (2) country with government which encourages and allows rights of citizenship such as freedom of speech, religion, opinion, and association, the assertion of rule of law, majority rule, accompanied by respect for the rights of minorities. (3) society in which there is treatment of each other by citizens as equals”. Dari kutipan pengertian tersebut tampak bahwa kata demokrasi merujuk pada pengertian kehidupan bernegara atau bermasyarakat di mana warganegara dewasa diharapkan dapat berpartisipasi dalam pemerintahan melalui wakilnya yang dipilih. selanjutnya pemerintahan yang dalam hal ini merupakan wakil rakyat dapat memberikan jaminan kebebasan/ kemerdekaan berbicara, beragam, berpendapat, berserikat, menegakkan ”rule of law”, adanya pemerintahan mayoritas yang menghormati hak-hak kelompok minoritas; dan masyarakat yang warganegaranya saling memberi perlakuan yang sama. Makna demokrasi di atas sesunggyhnya senada dengan yang disampaikan oleh Abraham Lincoln mantan Presiden Amerika Serikat, yang menyatakan bahwa “demokrasi adalah suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” atau “the government from the people, by the people, and for the people”. Dalam hal ini “people” yang menjadi pusatnya.
2. Tiga Tradisi Pemikiran Politik
Demokrasi
Secara konseptual, Carlos Alberto Torres (1998) mencoba mengemukakan pengertian
demokrasi yang dapat dilihat dari tiga tradisi pemikiran politik, yakni
“classical Aristotelian theory, medieval theory, contemporary doctrine”. Dalam
tradisi pemikiran Aristotelian demokrasi merupakan salah satu bentuk
pemerintahan, yakni “...the government of all citizens who enjoy the benefits
of citizenship”, atau pemerintahan oleh seluruh warganegara yang memenuhi
syarat kewarganegaraan. Sementara itu dalam tradisi “medieval theory” yang pada
dasarnya menerapkan “Roman law” dan konsep “popular souverignty” menempatkan
“...a foundation for the exercise of power, leaving the supreme power in the
hands of the people”, atau suatu landasan pelaksanaan kekuasaan tertinggi di tangan
rakyat. Sedangkan dalam “contemporary doctrine of democracy”, konsep
“republican” dipandang sebagai “...the most genuinely popular form of
government”, atau konsep republik sebagai bentuk pemerintahan rakyat yang
murni. Sebelum kita berbicara mengenai pentingnya pelaksanaan demokrasi sebagai suatu
system politik kenegaraan modern maka muncul pertanyaan Mengapa demokrasi yang
dipilih sebagai jalan bagi bentuk pemerintahan guna mencapai tujuan bernegara
yakni kesejahteraan? Awalnya, demokrasi sebagai bentuk pemerintahan, dimulai
dari sejarah Yunani Kuno. Namun pengertian demokrasi saat itu belumlah seideal
seperti saat ini. Demokrasi saat itu masih sebatas pemberian pemberian
kebebasan berpartisipasi politik pada minoritas kaum laki-laki dewasa yang hal
tersebut sangat jauh dari pengertian demokrasi yang ideal.
Selanjutnya,, Torres (1998) juga
memberikan pandangan mengenai demokrasi dari dua aspek, yakni “formal
democracy” “substantive democracy” dan “Formal democracy” yang kedua aspek
tersebut menunjuk pada demokrasi dalam arti sistem pemerintahan. Hal ini dapat
dilihat dari dalam berbagai pelaksanaan demokrasi di berbagai negara. Dalam
suatu negara demokrasi, suatu negara dapat melaksanakan pemerintahannya dengan
menggunakan system parlementer ataupun presindensial. Seperti kita ambil contoh
Negara Indonesia yang dalam pelaksanaan pemerintahannya menerapkan system
pemerintahan presidensial.
3. Pentingnya Demokrasi sebagai
Sistem Politik Kenegaraan Modern
Selanjutnya, Demokrasi di mata para pemikir Yunani Kuno seperti Plato dan Aristoteles justru memberikan penilaian yang berbeda . mereka mengemukakan bahwa demokrasii bukanlah bentuk pemerintahan yang ideal. Mereka menilai demokrasi sebagai pemerintahan oleh orang miskin atau pemerintahan oleh orang dungu. Demokrasi Yunani Kuno itu selanjutnya tenggelam oleh kemunculan pemerintahan model Kekaisaran Romawi dan tumbuhnya negara-negara kerajaan di Eropa sampai abad ke-17. Namun demikian, pada akhir abad ke-17 lahirlah demokrasi “ modern” yang disemai oleh para pemikir Barat seperti Thomas Hobbes, Montesqueau, dan J. J. Rousseau, bersamaan dengan munculnya konsep negara-bangsa di Eropa. Demokrasi mengalami perkembangan yang makin pesat dan makin diterima di banyak negara terlebih sesudah Perang Dunia II. Suatu penelitian dari Unesco tahun 1949 menyatakan “ mungkin bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah, demokrasi dinyatakan sebagai nama yang paling baik dan wajar untuk semua sistem organisasi politik dan sosial yang diperjuangkan oleh pendukung - pendukungnya yang berpengaruh” (Budiardjo, 2008).
Berdasarkan beberapa pendapat yang
telah dibahas di atas dapat disimpulkan bahwa meskipun banyak perbedaan
mengenai mengenai pemikiran demokrasi, namun sampai saat ini, sistem demokrasi
khususnya dalam pelaksanaan system pemerintahan tetap diyakini dan diterima
sebagai sistem politik yang baik guna mencapai kesejahteraan bangsa. Hampir
semua negara modern medeklarasikan dirinya telah melaksanakan sistem demokrasi
dalam pemerintahannya dan sebaliknya akan menghindar dari julukan sebagai
negara
yang “undemocracy”.
4. Mengapa kehidupan demokrasi
sangat penting dikembangkan dalam kehidupan masyarakat?
Membahas mengenai demokrasi sangat penting dikembangkan dalam kehidupan
masyarakat maka jawabannya adalah demokrasilah yang memegang peran penting
dalam masyarakat dan dalam tata aturan suatu negara... dapat dibayangkan
kehidupan masyarakat anpa adanya demokrasi di suatu negara, dan segala
sesuatunya di atur oleh pemerintah, maka hilanglah kesejahteraan masyarakat dan
kacaulah negara tersebut. Demokrasi sangatlah penting dan di perlukan
masyarakat, tidak hanya sekedar pemerintah yang memegang kendali dalam
pengaturan suatu negara, perlu adanya masyarakat yang komplemen, mendukung, dan
masyarakat perlu terlibat dalam pembangunan suatu negara demi terciptanya
kemakmuran dan kesejahteraan negara. Hal tersebut tentu sesuai dengan
pengertian demokrasi secara etimologis, yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh
takyat, dan untuk rakyat.
Berdasarkan hal tersebut dapat
dipahami bahwa dalam pelaksanaan kehidupan berdemokrasi tidak ada keinginan
untuk menang sendiri, saling memaksakan kehendak, menghina, melecehkan,
menjatuhakan. Justru yang diperjuangkan adalah nada saling menghargai,
menghormati, mengerti, menerima pendapat orang lain, lapang dada, tenggang
rasa. Dengan demikian diharapkan mampu mewujudkan kehidupan yang nyaman dan
tentram.
Untuk dapat lebih memahami betapa
pentingnya menerapkan demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat kita dapat
melihat berbaga contoh kasus yang ada di media massa bak cetak maupun
elektronik. Banyak permasalahan dalam masyarakat yang muncul disebabkan oleh
kurangnya penerapan demokrasi dalam kehidupan sehari-hari. Banyak yang hanya
mencoba memperjuangkan aspirasi individu atau kelompoknya sendiri dan
mengabaikan aspirasi dari kelompok lain.
1. 2.Alasan mengapa diperlukan demokrasi yang bersumber dari Pancasila
Dengan bersumber pada ideologinya, demokrasi yang berkembang
di Indonesiaadalah demokrasi Pancasila. Nilai-nilai dari setiap sila
pada Pancasila sesuaidengan ajaran demokrasi, bukan ajaran otoritarian atau
totalitarian. Jadi,Pancasila sangat cocok untuk menjadi dasar dan mendukung
demokrasi diIndonesia. Nilai-nilai luhur yang tertuang dalam pembukaan UUD
1945sesuai dengan pilar-pilar demokrasi modern.
Nilai-nilai yang demokrasi yang terjabar dari nilai-nilai
Pancasila yaitu :
1. 1.Kedaulatan
Rakyat Berdasarkan
UUD 1945 alenia IV yaitu “...yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat ...”.Kedaulatan rakyat adalah esensi dari demokrasi.
2. 2.Republik
Berdasarkan
UUD 1945 alenia IV yang berbunyi “...yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indoensia...”. Republik berarti res publica yang artinya negara untuk kepentingan umum.
3. 3.Negara
Berdasar atas Hukum
Berdasarkan UUD 1945 alenia IV yang
berbunyi “... Negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial...”.Negara hukum Indonesia menganut hukuman arti-arti luas atau
materiil.
4. 4.Pemerintahan
yang KonstitusionalBerdasarkan
UUD 1945 alenia 1V yang berbunyi “...maka disusunlah Kemerdekaan-Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia
itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia...”. UUD negara Indonesia 1945 adalah konstitusi negara.
5. 5.Sistem
Perwakilan
Berdasarkan UUD 1945 alenia 1V yang berbunyi
“...Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan...”.
6. 6.Prinsip
Musyawarah
Berdasarkan UUD 1945 alenia 1V yang berbunyi
“...Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan...”
7. 7.Prinsip KetuhananDemokrasi di Indonesia
harus dapat dipertanggungjawabkan ke bawahyaitu rakyat dan keatas yaitu
Tuhan.
Unsur utama dari demokrasi yang berdasarkan Pancasila yaitu prinsip “musyawarah”. Prinsip ini bersumber dari sila keempat Pancasila, yang intinya adalah “win win solution”. Artinya dengan prinsip musyawarah tersebut diharapkan memuaskan semua pihak yang berbeda pendapat.Dalam hal ini, konsep demokrasi musyawarah versi Indonesia merupakan salah satu bentuk dari teori demokrasi konsensus (MunirFuady,2010).
3.Menggali Sumber Historis, Sosiologis, dan Politik tentang Demokrasi yang Bersumber dari Pancasila
Terdapat tiga sumber yang menghidupkan cita-cita demokrasi dalam kalbu Bangsa Indonesia. Pertama, tradisi kolektivisme dari permusyawaratan desa. Kedua, ajaran Islam yang menuntut kebenaran dan keadilan Ilahi dalam masyarakat serta persaudaraan antarmanusia sebagai makhluk Tuhan. Ketiga, paham sosialis Barat, yang menarik perhatian para pemimpin pergerakan kebangsaan karena dasar-dasar perikemanusiaan yang dibelanya dan menjadi tujuannya. Berdasarkan ketiga tersebut dapat dipahami bahwa pelaksanaan demokrasi di Indonesia tetap mempertahankan jati diri Bangsa Indonesia yang bersumber dari dasar negara Pancasila, yaitu sila Ketuhanan yang Maha Esa, selanjutnya sila keempat yaitu nilai permusyawaratan dan yang ketiga adalah mengadopsi nilai-nilai yang bersumber pada pada paham sosialis barat.
1. Sumber Nilai yang Berasal dari
Demokrasi Desa
Istilah demokrasi yang rumuskan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat,
dan untuk rakyat merupakan sesuatu yang baru bagi Indonesia ketika merdeka.
Kerajaan-kerajaan pra- Indonesia adalah kerajaan-kerajaan feodal yang dikuasai
oleh raja-raja autokrat. Akan tetapi, nilai- nilai demokrasi dalam taraf
tertentu sudah berkembang dalam budaya Nusantara, dan dipraktikkan setidaknya
dalam unit politik terkecil, seperti desa di Jawa, nagari di Sumatra Barat, dan
banjar di Bali (Latif, 2011). Mengenai adanya anasir demokrasi dalam tradisi
desa kita akan meminjam dua macam analisis berikut.
Pertama, paham kedaulatan rakyat
sesungguhnya merupakan paham yang bersumber dari sila keempat Dasar Negara
Indonesia. Meskipun paham tersebut bersumber dari sila keempat Pancasila namun,
telah Nampak dalam kehidupan masyarakat Indonesia jauh sebelum Indonesia
merdeka. Seperti sejarah yang telah kita ketahui bersama bahwasanya niali-nilai
yang terkandung dalam Dasar Negara Indonesia, yaitu Pancasila merupakan jati
diri yang menggambarkan kehidupan masyarakat Indonesia jauh sebelum kemerdekaan
diraih. Di alam Minangkabau, misalnya pada abad XIV sampai XV kekuasaan raja
dibatasi oleh ketundukannya pada keadilan dan kepatutan. Ada istilah yang cukup
tekenal pada masa itu bahwa Rakyat ber-raja pada Penghulu, Penghulu ber- raja
pada Mufakat, dan Mufakat ber-raja pada alur dan patut. Dengan demikian, raja
sejati di dalam kultur Minangkabau ada pada alur (logika) dan patut (keadilan). Alur dan patutlah yang menjadi pemutus terakhir sehingga keputusan seorang raja
akan ditolak apabila bertentangan dengan akal sehat dan prinsip-prinsip
keadilan (Malaka, 2005).
Kedua, tradisi demokrasi asli
Nusantara tetap bertahan sekalipun di bawah kekuasaan feodalisme raja-raja
Nusantara karena di banyak tempat di Nusantara, tanah sebagai faktor produksi
yang penting tidaklah dikuasai oleh raja, melainkan dimiliki bersama oleh
masyaraat desa. pemilikan bersama tanah desa ini, hasrat setiap orang untuk
memanfaatkannya harus melalui persetujuan kaumnya. Hal inilah yang mendorong
tradisi gotong royong dalam memanfaatkan tanah bersama, yang selanjutnya
merembet pada bidang-bidang lainnya, termasuk pada hal-hal kepentingan pribadi
seperti misalnya membangun rumah, kenduri, dan sebagainya. Adat hidup seperti
itu membawa kebiasaan bermusyawarah menyangkut kepentingan umum yang diputuskan
secara mufakat (kata sepakat). Seperti disebut dalam pepatah Minangkabau:
“Bulek aei dek pambuluah, bulek kato dek mufakat” (Bulat air karena
pembuluh/bambu, bulat kata karena mufakat). Tradisi musyawarah mufakat ini
kemudian melahirkan institusi rapat pada tempat tertentu, di bawah pimpinan
kepala desa. Setiap orang dewasa yang menjadi warga asli desa tersebut berhak
hadir dalam rapat itu.
Karena alasan pemilikan faktor
produksi bersama dan tradisi musyawarah, tradisi desa boleh saja ditindas oleh
kekuasaan feodal, namun sama sekali tidak dapat dilenyapkan, bahkan tumbuh
subur sebagai adat istiadat. Hal ini menanamkan keyakinan pada kaum pergerakan bahwa demokrasi asli Nusantara itu kuat bertahan, “liat
hidupnya”, seperti terkandung dalam pepatah Minangkabau “indak lakang dek
paneh, indak lapuak dek ujan”, tidak lekang karena panas, tidak lapuk karena
hujan (Hatta, 1992). terdapat dua anasir lagi yang berasal dari tradisi
demokrasi desa yang asli nusantara, yaitu hak dalam memberikan keberatan
bersama terhadap berbagai peraturan raja yang dirasakan tidak adil, dan hak
rakyat untuk meninggalkan daerah kekuasaan raja jika sang rakyat tidak lagi
berkenan untuk tingggal di daerah kekuasaan raja. Dalam melakukan protes,
biasanya rakyat secara bergerombol berkumpul di alun-alun dan duduk di situ
beberapa lama tanpa berbuat apa-apa, yang mengekspresikan suatu bentuk
demonstrasi damai. Tidak sering r rakyat yang sabar melakukan itu. Namun, apabila
hal itu dilakukan, pertanda menggambarkan situasi kegentingan yang memaksa
penguasa untuk mempertimbangkan ulang peraturan yang dikeluarkannya. Adapun hak
menyingkir, dapat dianggap sebagai hak seseorang untuk menentukan nasib
sendiri. Kesemua itu menjadi bahan dasar yang dipertimbangkan oleh para pendiri
bangsa untuk mencoba membuat konsepsi demokrasi Indonesia yang modern,
bedasarkan demokrasi desa yang asli itu (Latif, 2011).
Selanjutnya Hatta menjelaska bahwa
kelima anasir demokrasi asli, yaitu: rapat, mufakat, gotong royong, hak
mengadakan protes bersama dan hak menyingkir dari daerah kekuasaan raja,
dianggap sebagai sesuatu yang baik dalam lingkungan pergerakan nasional dan
dijadikan sebagai pokok yang kuat bagi demokrasi sosial dan dasar pemerintahan
Indonesia merdeka di masa mendatang (Hatta, 1992).
Salah satu sumber yang dijadikan pilar dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia adalah demokrasi yang berlandaskan kepada Ketuhanan yang Maha Esa bukanlah demokrasi yang sekuler. Salah satu sumber nilai ketuhanan yang terbesar adalah nilai-nilai Islam karena tidak dapat dipungkiri bahwa perjuangan kemerdekaan Bangsa Indonesia banyak dipengaruhi oleh tokoh Islam. Nilai demokratis yang berasal dari Islam bersumber dari akar teologisnya. Inti dari keyakinan Islam adalah pengakuan pada Ketuhanan Yang Maha Esa (Tauhid, Monoteisme). Dalam keyakinan ini, hanya Tuhanlah satu-satunya wujud yang pasti. Semua selain Tuhan, bersifat fatamorgana belaka. Konsekuensinya, semua bentuk pengaturan hidup sosial manusia yang melahirkan kekuasaan mutlak, dinilai bertentangan dengan jiwa Tauhid (Latif, 2011). Dengan demikian dapat dipahami bahwa membuat peraturan hidup dengan secara mutlak memberikan kekuasaan penuh kepada para penguasa dalam hal ini pemerintahan merupakan suatu ketidakadilan dan bertentangan nilai agama terutama Islam. Hal ini juga sesuai dengan yang dikemukakan oleh (Madjid, 1992). Sikap pasrah kepada Tuhan, yang memutlakkan Tuhan dan tidak pada sesuatu yang lain, menghendaki tatanan sosial terbuka, adil, dan demokratis Kelanjutan logis dari prinsip Tauhid adalah paham persamaan (kesederajatan) manusia di hadapan Tuhan, yang melarang adanya perendahan martabat dan pemaksaan kehendak antarsesama manusia. Bahkan seorang utusan Tuhan tidak berhak melakukan pemaksaan itu. Seorang utusan Tuhan mendapat tugas hanya untuk menyampaikan kebenaran (tabligh) kepada umat manusia, bukan untuk memaksakan kebenaran kepada mereka. Dengan prinsip persamaan manusia di hadapan Tuhan itu, tiap-tiap manusia dimuliakan kehidupan, kehormatan, hak-hak, dan kebebasannya yang dengan kebebasan pribadinya itu manusia menjadi makhluk moral yang harus bertanggung jawab atas pilian-pilihannya. Dengan prinsip persamaan, manusia juga didorong menjadi makhluk sosial yang menjalin kerjasama dan persaudaraan untuk mengatasi kesenjangan dan meningkatkan mutu kehidupan bersama (Latif, 2011).
Sejarah nilai-nilai demokratis
sebagai pancaran prinsip-prisip Tauhid itu dicontohkan oleh Nabi Muhammad
S.A.W. sejak awal pertumbuhan komunitas politik Islam di Madinah, dengan
mengembangkan cetakan dasar apa yang kemudian dikenal sebagai bangsa (nation).
Negara-kota Madinah yang dibangun Nabi adalah sebuah entitas politik
berdasarkan konsepsi Negara-bangsa “nation-state”, yaitu Negara untuk seluruh
umat atau warganegara, demi maslahat bersama “common good”. Sebagaimana
termaktub dalam Piagam Madinah, “negara-bangsa” didirikan atas dasar penyatuan
seluruh kekuatan masyarakat menjadi bangsa yang satu (ummatan wahidah) tanpa
membeda - bedakan kelompok keagamaan yang ada. Robert N. Bellah menyebutkan
bahwa contoh awal nasionalisme modern mewujud dalam sistem masyarakat Madinah
masa Nabi dan para khalifah. Robert N. Bellah mengatakan bahwa sistem yang
dibangun Nabi itu adalah “a better model for modern national community building
than might be imagined” (suatu contoh bangunan komunitas nasional modern yang
lebih baik dari yang dapat dibayangkan). Komunitas ini disebut modern karena
adanya keterbukaan bagi partisipasi seluruh anggota masyarakat dan karena
adanya kesediaan para pemimpin untuk menerima penilaian berdasarkan kemampuan.
Lebih jauh, Bellah juga menyebut sistem Madinah sebagai bentuk nasionalisme
yang egaliter partisipatif (egalitarian participant nationalism). Hal ini
berbeda dengan sistem republik negara-kota Yunani Kuno, yang membuka
partisipasi hanya kepada kaum lelaki merdeka, yang hanya meliputi lima persen
dari penduduk (Latif, 2011).
Pengaruh ajaran Islam mampu
membawa pergeseran nusantara dari sistem kemasyarakatan feodalistis berbasis
kasta menuju sistem kemasyarakatan yang lebih egaliter. Pergeseran ini terlihat
dari perubahan sikap kejiwaan orang Melayu terhadap para penguasanya.. Sebelum
kedatangan Islam, dalam dunia Melayu berkembang peribahasa, “Melayu pantang
membantah”. Melalui pengaruh Islam, peribahasa itu berubah menjadi “Raja adil,
raja disembah; raja zalim, raja disanggah”. Selanjutnya, Nilai-nilai egalitarianisme
Islam ini pula yang memaksa kaum pribumi untuk menolak sistem kasta yang dibawa
oleh kelompok kolonial (Wertheim, 1956).
Senada dengan pendapat yang
disampaikan oleh Soekarno (1965), pengaruh Islam di Nusantara membawa pergeseran masyarakat feodal menuju masyarakat yang lebih demokratis. Dalam
perkembangannya, Hatta juga memandang stimulus Islam sebagai salah satu sumber
yang menghidupkan cita-cita demokrasi sosial di kalbu para pemimpin pergerakan
kebangsaan.
3. Sumber Nilai yang Berasal dari
Barat
Masyarakat Barat (Eropa) mempunyai akar demokrasi yang panjang. Pusat
pertumbuhan demokrasi terpenting di Yunani adalah kota Athena, yang sering
dirujuk sebagai contoh pelaksanaan demokrasi patisipatif dalam negara-kota
sekitar abad ke-5 SM. Selanjutnya muncul pula praktik pemerintahan sejenis di
Romawi, tepatnya di kota Roma (Italia), yakni sistem pemerintahan republik.
Model pemerintahan demokratis
model Athena dan Roma ini kemudian menyebar ke kota- kota lain sekitarnya,
seperti Florence dan Venice. Model demokrasi ini mengalami kemunduran sejak
kejatuhan Imperium Romawi sekitar abad ke-5 M, bangkit sebentar di beberapa
kota di Italia sekitar abad ke-11 M kemudian lenyap pada akhir “zaman
pertengahan” Eropa. Setidaknya sejak petengahan 1300 M, karena kemunduran
ekonomi, korupsi dan peperangan, pemerintahan demokratis di Eropa digantikan
oleh sistem pemerintahan otoriter (Dahl, 1992).
Pemikiran-pemikiran humanisme dan
demokrasi mulai bangkit lagi di Eropa pada masa Renaissance (sekitar abad ke-14
– 17 M), setelah memperoleh stimuls baru, antara lain, dari peradaban Islam.
Tonggak penting dari era Renaissance yang mendorong kebangkitan kembali
demokrasi di Eropa adalah gerakan Reformasi Protestan sejak 1517 hingga
tercapainya kesepakatan Whestphalia pada 1648, yang meletakan prinsip
co-existence dalam hubungan agama dan Negara—yang membuka jalan bagi
kebangkitan Negara-bangsa (nation-state) dan tatanan kehidupan politik yang
lebih demokratis.
Kehadiran kolonialisme Eropa,
khususnya Belanda, di Indonesia, membawa dua sisi dari koin peradaban Barat:
sisi represi imperialisme- kapitalisme dan sisi humanisme-demokratis.
Penindasan politik dan penghisapan ekonomi oleh imperialisme dan kapitalisme,
yang tidak jarang bekerjasama dengan kekuatan- kekuatan feodal bumi putera,
menumbuhkan sikap anti- penindasan, anti-penjajahan, dan anti-feodalisme di
kalangan para perintis kemerdekaan bangsa. Dalam melakukan perlawanan terhadap
represi politik- ekonomi kolonial itu, mereka juga mendapatkan stimulus dari
gagasan-gagasan humanisme-demokratis Eropa (Latif, 2011).
Penyebaran nilai-nilai humanisme-demokratis itu menemukan ruang aktualisasinya dalam kemunculan ruang publik modern di Indonesia sejak akhir abad ke-19. Ruang publik ini berkembang di sekitar institusi-institusi pendidikan modern, kapitalisme percetakan, klub-klub sosial bergaya Eropa, kemunculan bebagai gerakan sosial (seperti Boedi Oetomo, Syarekat Islam dan lan-lain) yang berujung pada pendrian partai-partai politik (sejak 1920-an), dan kehadiran Dewan Rakyat (Volksraad) sejak 1918.
Sumber inspirasi dari anasir demokrasi desa, ajaran Islam, dan sosio- demokrasi Barat, memberikan landasan persatuan dari keragaman., Segala keragaman ideologi-politik yang dikembangkan, yang bercorak keagamaan maupun sekuler, semuanya memiliki titik-temu dalam gagasan-gagasan demokrasi sosialistik (kekeluargaan), dan secara umum menolak individualisme. Selanjutnya perlu dipertanyakan bagaimana praktik demokrasi di Indonesia sejak dulu sampai sekarang? Apa Indonesia telah menerapkan demokrasi Pancasila? Dalam kurun sejarah Indonesia merdeka sampai sekarang ini, ternyata pelaksanaan demokrasi mengalami dinamikanya. Indonesia mengalami praktik demokrasi yang berbeda-beda dari masa ke masa. Beberapa ahli memberikan pandangannya. Misalnya, Budiardjo (2008) menyatakan bahwa dari sudut perkembangan sejarah demokrasi Indonesia sampai masa Orde Baru dapat dibagi dalam empatmasa, yaitu :
1. Masa Republik Indonesia I (1945-1959) yang dinamakan masa demokrasi konstitusional yang menonjolkan peranan parlemen dan partai-partai,karena itu dinamakan Demokrasi Parlementer,
2. Masa Republik Indonesia II (1959-1965) yaitu masa Demokrasi Terpimpin yang banyak penyimpangan dari demokrasi konstitusional yang secara formal merupakan landasan dan penunjukan beberapa aspek demokrasi rakyat.
3. Masa Republik Indonesia III (1965-1998) yaitu masa demokrasi Pancasila. Demokrasi ini merupakan demokrasi konstitusional yang menonjolkan sistem presidensiil.
4. Masa Republik Indonesia IV (1998-sekarang) yaitu masa reformasi yang
menginginkan tegaknya demokrasi di Indonesia sebagai koreksi terhadap
praktik-praktik politik yang terjadi pada masa Republik Indonesia III.
Materi 10
DINAMIKA HISTORIS KONSTITUSIONAL,
SOSIAL POLITIK, KULTURAL, SERTA KONTEK KONTEMPORER PENEGAKAN HUKUM YANG
BERKEADILAN
1.Konsep dan Urgensi Penegakan Hukum yang Berkeadilan
Pernahkah Anda berpikir, seandainya
di sebuah masyarakat atau negara tidak ada hukum? Jawaban Anda tentunya akan
beragam. Mungkin ada yang menyatakan kehidupan masyarakat menjadi kacau, tidak
aman, banyak tindakan kriminal, dan kondisi lain yang menunjukkan tidak tertib
dan tidak teratur. Namun, mungkin juga ada di antara Anda yang menyatakan,
tidak adanya hukum di masyarakat atau negara aman-aman saja, tidak ada masalah.
Bagaimana pendapat Anda? Setujukah Anda dengan pendapat pertama atau yang
kedua?
Thomas Hobbes (1588–1679 M) dalam
bukunya Leviathan pernah mengatakan “Homo homini lupus”,
artinya manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Manusia memiliki
keinginan dan nafsu yang berbeda-beda antara manusia yang satu dan yang
lainnya. Nafsu yang dimiliki manusia ada yang baik, ada nafsu yang tidak baik.
Inilah salah satu argumen mengapa aturan hukum diperlukan. Kondisi yang kedua
tampaknya bukan hal yang tidak mungkin bila semua masyarakat tidak memerlukan
aturan hukum. Namun, Cicero (106 – 43 SM) pernah menyatakan “Ubi societas
ibi ius”, artinya di mana ada masyarakat, di sana ada hukum.
Dengan kata lain, sampai saat ini hukum masih diperlukan bahkan kedudukannya
semakin penting.
Upaya penegakan hukum di suatu negara, sangat erat kaitannya dengan tujuan negara. Anda disarankan untuk mengkaji teori tujuan negara dalam buku “Ilmu Negara Umum”. Menurut Kranenburg dan Tk.B. Sabaroedin (1975) kehidupan manusia tidak cukup hidup dengan aman, teratur dan tertib, manusia perlu sejahtera. Apabila tujuan negara hanya menjaga ketertiban maka tujuan negara itu terlalu sempit. Tujuan negara yang lebih luas adalah agar setiap manusia terjamin kesejahteraannya di samping keamanannya.
Dengan kata lain, negara yang
memiliki kewenangan mengatur masyarakat, perlu ikut menyejahterakan masyarakat.
Teori Kranenburg tentang negara hukum ini dikenal luas dengan nama teori negara
kesejahteraan. Teori negara hukum dari Kranenburg ini banyak dianut oleh
negara-negara modern. Bagaimana dengan Indonesia? Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) adalah negara hukum. Artinya negara yang bukan didasarkan pada
kekuasaan belaka melainkan negara yang berdasarkan atas hukum, artinya semua
persoalan kemasyarakatan, kewarganegaraan, pemerintahan atau kenegaraan harus
didasarkan atas hukum. Teori tentang tujuan negara dari Kranenburg ini mendapat
sambutan dari negara-negara pada umumnya termasuk Indonesia.
Tujuan Negara RI dapat kita
temukan pada Pembukaan UUD 1945 yakni pada alinea ke-4 sebagai berikut:
... untuk membentuk suatu
pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial....
Dari bunyi alinea ke-4 Pembukaan
UUD NRI 1945 ini dapat diidentifikasi bahwa tujuan Negara Republik Indonesia
pun memiliki indikator yang sama sebagaimana yang dinyatakan Kranenburg, yakni:
1) melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
2) memajukan kesejahteraan umum
3) mencerdaskan kehidupan bangsa;
dan
4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Perlindungan terhadap warga negara
serta menjaga ketertiban masyarakat telah diatur dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Anda dianjurkan untuk
mengkaji Bab IX, Pasal 24, 24 A, 24 B, 24 C, dan 25 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Untuk mengatur lebih lanjut tentang kekuasaan kehakiman, telah
dikeluarkan Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
UUD NRI 1945 Pasal 24
1. Kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan.***)
2. Kekuasaan kehakiman menurut
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan
yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.***)
3. Badan-badan lain yang fungsinya
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang- undang.****)
Dalam pertimbangannya, UU No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bahwa “kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan. Bagaimana lembaga peradilan dalam menegakkan hukum dan
keadilan?
Negara kita telah memiliki lembaga
peradilan yang diatur dalam UUD NRI 1945 ialah Mahkamah Agung (MA), Komisi
Yudisial (KY), dan Mahkamah Konstitusi (MK). Selain lembaga negara tersebut,
dalam UUD NRI 1945 diatur pula ada badan-badan lain yang diatur dalam
undang-undang. Tentang MA, KY, dan MK ini lebih lanjut diatur dalam UU No.
48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Anda perhatikan apa yang dimaksud dengan
ketiga lembaga peradilan tersebut.
UU No. 48/2009 Pasal 1 ayat (2),
(3), (4)
(2) Mahkamah Agung adalah pelaku
kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
(3) Mahkamah Konstitusi adalah
pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(4) Komisi Yudisial adalah lembaga
negara sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Apabila mengacu pada bunyi pasal
24, maka lembaga negara MA, KY, MK memiliki kewenangan dalam kekuasaan
kehakiman atau sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Dikemukakan dalam pasal 24
UUD NRI 1945 bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Dengan demikian, tiga lembaga
negara yang memiliki kekuasaan kehakiman memiliki tugas pokok untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Bagaimana badan-badan peradilan
lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan?
Dalam teori tujuan negara, pada
umumnya, ada empat fungsi negara yang dianut oleh negara - negara di dunia: (1)
melaksanakan penertiban dan keamanan; (2) mengusahakan kesejahteraan dan
kemakmuran rakyatnya; (3) pertahanan; dan (4) menegakkan keadilan.
Pelaksanaan fungsi keempat, yakni
menegakkan keadilan, fungsi negara dalam bidang peradilan dimaksudkan untuk
mewujudkan adanya kepastian hukum. Fungsi ini dilaksanakan dengan berlandaskan
pada hukum dan melalui badan-badan peradilan yang didirikan sebagai tempat
mencari keadilan. Bagi Indonesia dalam rangka menegakkan keadilan telah ada
sejumlah peraturan perundangan yang mengatur tentang lembaga pengadilan dan
badan peradilan. Peraturan perundangan dalam bidang hukum pidana, kita memiliki
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP).
Dalam bidang peradilan, kita
memiliki Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Agama dan Peradilan Tata
Usaha Negara (PTUN). Selain itu, ada juga peradilan yang sifatnya ad
hoc, misalnya peradilan tindak pidana korupsi (Tipikor).
Berikut ini disajikan sejumlah
sumber rujukan untuk mempelajari hukum dan penegakan hukum, antara lain:
1. Departemen Kehakiman Republik
Indonesia. (1982). Pedoman Pelaksanaan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana.
2. Kranenburg. (1975). Ilmu Negara
Umum. Jakarta: Pradnya Paramita.
3. Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (Amandemen).
4. Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
5. Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 Tentang Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
6. Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
2. Alasan Mengapa Diperlukan Penegakan Hukum yang Berkeadilan
Sebagaimana telah diuraikan pada Bab IV, terdapat enam agenda reformasi, satu di antaranya adalah penegakan hukum. Dari sebanyak tuntutan masyarakat, beberapa sudah mulai terlihat perubahan ke arah yang positif, namun beberapa hal masih tersisa. Mengenai penegakan hukum ini, hampir setiap hari, media massa baik elektronik maupun cetak menayangkan masalah pelanggaran hukum baik terkait dengan masalah penegakan hukum yang belum memenuhi rasa keadilan masyarakat maupun masalah pelanggaran HAM dan KKN.
Pada Bab I, telah diungkapkan sejumlah permasalahan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Beberapa di antaranya yang terkait
dengan masalah penegakan hukum adalah:
§ Perilaku warga negara khususnya oknum aparatur negara
banyak yang belum baik dan terpuji (seperti masih ada praktik KKN, praktik
suap, perilaku premanisme, dan perilaku lain yang tidak terpuji);
§ Masih ada potensi konflik dan kekerasan sosial (seperti
SARA, tawuran, pelanggaran HAM, etnosentris, dan lan-lain);
§ Maraknya kasus-kasus ketidakadilan sosial dan hukum
yang belum diselesaikan dan ditangani secara tuntas;
§ Penegakan hukum yang lemah karena hukum bagaikan pisau
yang tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas, dan
§ Pelanggaran oleh Wajib Pajak atas penegakan hukum dalam bidang perpajakan.
Munculnya permasalahan-permasalahan tersebut tentu menimbulkan pertanyaan
dalam pikiran kita. Oleh karena itu, Anda dapat mempertanyakan secara kritis
terhadap masalah-masalah tersebut.
Berikut ini adalah contoh pertanyaan yang dapat diajukan:
(1) Mengapa banyak oknum aparatur negara yang belum baik dan terpuji? Siapa aparat penegak hukum atau badan peradilan yang ada di Indonesia? Mereka masih melakukan praktik KKN yang merugikan keuangan negara yang dikumpulkan dari uang rakyat melalui pajak, praktik suap, perilaku premanisme, dan perilaku lain yang tidak terpuji. Padahal, ketika bangsa Indonesia memasuki era reformasi masalah masalah tersebut telah menjadi perhatian dan target bersama untuk diberantas atau dihilangkan;
(2) Mengapa masih terjadi konflik dan kekerasan sosial yang bernuansa SARA, bahkan mereka tawuran dengan merusak aset negara yang dibiayai dari pajak, melanggar HAM, bersikap etnosentris padahal bangsa Indonesia terkenal sebagai bangsa yang ramah, santun, dan toleran? Siapa saja yang bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah konflik dan kekerasan?;
(3) Mengapa setelah Indonesia merdeka lebih dari setengah abad masih marak terjadi kasus-kasus ketidakadilan sosial dan hukum yang belum diselesaikan dan ditangani secara tuntas? Siapa yang bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah konflik dan kekerasan?;
(4) Mengapa penegakan hukum di Indonesia dianggap lemah sehingga muncul sebutan “bagaikan pisau yang tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas? Masalah yang keempat ini.(5) Mengapa masih saja terdapat warga negara yang tidak patuh akan
kewajibannya sebagai Wajib Pajak? Sebagaimana kita tahu bahwa pajak adalah
tulang punggung penerimaan negara, akan tetapi masih saja terdapat kasus di
mana Wajib Pajak berusaha melakukan penghindaran pajak maupun rekayasa perpajakan
yang bersifat melanggar hukum sebagaimana yang dilakukan PT. Asian Agri pada
Tahun 2002-2005.
3. Menggali Sumber Historis, Sosiologis, Politis tentang Penegakan Hukum yang
Berkeadilan di Indonesia
Setelah Anda mempertanyakan
terhadap masalah penegakan hukum, selanjutnya kita akan menggali sejumlah
sumber tentang penegakan hukum di Indonesia yang meliputi sumber historis,
sosiologis, dan politis. Dengan menggali sumber-sumber masalah penegakan hukum
diharapkan Anda akan dapat menjawab pertanyaan di atas seperti “Siapakah atau apakah
lembaga atau badan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan?”
Untuk menjawab pertanyaan tersebut
Anda diharapkan telah mengerti bahwa upaya penegakan hukum dan keadilan sangat
terkait erat dengan tujuan negara. Anda diharapkan telah mengenal dan memahami
bahwa salah satu tujuan negara RI adalah “melindungi warga negara atau menjaga
ketertiban” selain berupaya mensejahterakan masyarakat. Dalam tujuan negara
sebagaimana dinyatakan di atas, secara eksplisit dinyatakan bahwa “negara
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta
melaksanakan ketertiban dunia”
Agar negara dapat melaksanakan
tugas dalam bidang ketertiban dan perlindungan warga negara, maka disusunlah
peraturan-peraturan yang disebut peraturan hukum. Peraturan hukum mengatur
hubungan antara manusia yang satu dengan manusia lainnya, di samping mengatur
hubungan manusia atau warga negara dengan negara, serta mengatur organ-organ
negara dalam menjalankan pemerintahan negara.
Ada dua pembagian besar hukum.
Pertama, hukum privat ialah hukum yang mengatur hubungan antarmanusia
(individu) yang menyangkut "kepentingan pribadi" (misalnya masalah
jual beli, sewa-menyewa, pembagian waris). Kedua, hukum publik ialah hukum yang
mengatur hubungan antara negara dengan organ negara atau hubungan negara dengan
perseorangan yang menyangkut kepentingan umum. Misalnya, masalah perampokan,
pencurian, pembunuhan, penganiayaan, dan tindakan kriminal lainnya.
Peraturan-peraturan hukum, baik yang bersifat publik menyangkut kepentingan
umum maupun yang bersifat privat menyangkut kepentingan pribadi, harus
dilaksanakan dan ditegakkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Apabila segala tindakan pemerintah
atau aparatur berwajib menjalankan tugas sesuai dengan hukum atau dilandasi
oleh hukum yang berlaku, maka negara tersebut disebut negara hukum. Jadi,
negara hukum adalah negara yang setiap kegiatan penyelenggaraan pemerintahannya
didasarkan atas hukum yang berlaku di negara tersebut. Hukum bertujuan untuk
mengatur kehidupan dan ketertiban masyarakat. Untuk mewujudkan masyarakat yang
tertib, maka hukum harus dilaksanakan atau ditegakkan secara konsekuen. Apa
yang tertera dalam peraturan hukum seyogianya dapat terwujud dalam
pelaksanaannya di masyarakat. Dalam hal ini, penegakan hukum pada dasarnya
bertujuan untuk meningkatkan ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat
sehingga masyarakat merasa memperoleh perlindungan akan hak-haknya. Gustav
Radbruch, seorang ahli filsafat Jerman (dalam Sudikno Mertokusumo, 1986:130),
menyatakan bahwa untuk menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus
diperhatikan yaitu:
(1) Gerechtigheit,
atau unsur keadilan;
(2) Zeckmaessigkeit,
atau unsur kemanfaatan; dan
(3) Sicherheit, atau
unsur kepastian.
1) Keadilan
Keadilan merupakan unsur yang
harus diperhatikan dalam menegakkan hukum. Artinya bahwa dalam pelaksanaan
hukum para aparat penegak hukum harus bersikap adil. Pelaksanaan hukum yang
tidak adil akan mengakibatkan keresahan masyarakat, sehingga wibawa hukum dan
aparatnya akan luntur di masyarakat. Apabila masyarakat tidak peduli terhadap
hukum, maka ketertiban dan ketentraman masyarakat akan terancam yang pada akhirnya
akan mengganggu stabilitas nasional.
2) Kemanfaatan
Selain unsur keadilan, para aparatur penegak hukum dalam menjalankan tugasnya harus mempertimbangkan agar proses penegakan hukum dan pengambilan keputusan memiliki manfaat bagi masyarakat. Hukum harus bermanfaat bagi manusia. Oleh karena itu, pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi manusia.
3) Kepastian hukum
Unsur ketiga dari penegakan hukum
adalah kepastian hukum, artinya penegakan hukum pada hakikatnya adalah
perlindungan hukum terhadap tindakan sewenang-wenang. Adanya kepastian hukum
memungkinkan seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan. Misalnya,
seseorang yang melanggar hukum
akan dituntut pertanggungjawaban atas perbuatannya itu melalui proses
pengadilan, dan apabila terbukti bersalah akan dihukum. Oleh karena itu, adanya
kepastian hukum sangat penting. Orang tidak akan mengetahui apa yang harus
diperbuat bila tanpa kepastian hukum sehingga akhirnya akan timbul keresahan.
Dalam rangka menegakkan hukum,
aparatur penegak hukum harus menunaikan tugas sesuai dengan tuntutannya yang
ada dalam hukum material dan hukum formal. Pertama, hukum material adalah hukum
yang memuat peraturan-peraturan yang mengatur kepentingan-kepentingan dan
hubungan-hubungan yang berupa perintah-perintah dan larangan-larangan.
Contohnya: untuk Hukum Pidana terdapat dalam Kitab Undang - Undang Hukum Pidana
(KUHP), untuk Hukum Perdata terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPER).
Dalam hukum material telah ditentukan aturan atau ketentuan hukuman bagi orang yang melakukan tindakan hukum. Dalam hukum material juga dimuat tentang jenis-jenis hukuman dan ancaman hukuman terhadap tindakan melawan hukum. Kedua, hukum formal atau disebut juga hukum acara yaitu peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan dan menjalankan peraturan hukum material. Contohnya: hukum acara pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan hukum acara Perdata. Melalui hukum acara inilah hukum material dapat dijalankan atau dimanfaatkan. Tanpa adanya hukum acara, maka hukum material tidak dapat berfungsi.
Para aparatur penegak hukum dapat
memproses siapa pun yang melakukan perbuatan melawan hukum melalui proses
pengadilan serta memberi putusan (vonis). Dengan kata lain, hukum acara
berfungsi untuk memproses dan menyelesaikan masalah yang memenuhi norma- norma
larangan hukum material melalui suatu proses pengadilan dengan berpedoman pada
peraturan hukum acara. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa hukum acara
berfungsi sebagai sarana untuk menegakkan hukum material. Hukum acara hanya
digunakan dalam keadaan tertentu yaitu dalam hal hukum material atau kewenangan
yang oleh hukum material diberikan kepada yang berhak dan perlu dipertahankan.
Agar masyarakat patuh dan
menghormati hukum, maka aparat hukum harus menegakkan hukum dengan jujur tanpa
pilih kasih dan demi Keadilan Berdasarkan Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain
itu, aparat penegak hukum hendaknya memberikan penyuluhan-penyuluhan hukum
secara intensif dan persuasif sehingga kesadaran hukum dan kepatuhan masyarakat
terhadap hukum semakin meningkat. Dalam upaya mewujudkan sistem hukum nasional
yang bersumber pada Pancasila dan UUD NRI 1945, bukan hanya diperlukan pembaharuan
materi hukum, tetapi yang lebih penting adalah pembinaan aparatur hukumnya
sebagai pelaksana dan penegak hukum. Di negara Indonesia, pemerintah bukan
hanya harus tunduk dan menjalankan hukum, tetapi juga harus aktif memberikan
penyuluhan hukum kepada segenap masyarakat, agar masyarakat semakin sadar
hukum. Dengan cara demikian, akan terbentuk perilaku warga negara yang
menjunjung tinggi hukum serta taat pada hukum.
1. Lembaga Penegak hukum
Untuk menjalankan hukum
sebagaimana mestinya, maka dibentuk beberapa lembaga aparat penegak hukum,
yaitu antara lain: Kepolisian yang berfungsi utama sebagai lembaga penyidik;
Kejaksaan yang fungsi utamanya sebagai lembaga penuntut; Kehakiman yang
berfungsi sebagai
lembaga pemutus/pengadilan; dan
lembaga Penasehat atau memberi bantuan hukum.
a. Kepolisian
Kepolisian negara ialah alat
negara penegak hukum yang terutama bertugas memelihara keamanan dan ketertiban
di dalam negeri. Dalam kaitannya dengan hukum, khususnya Hukum Acara Pidana,
Kepolisian negara bertindak sebagai penyelidik dan penyidik. Menurut Pasal 4 UU
nomor 8 tahun 1981 tentang Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Penyelidik
adalah setiap pejabat polisi negara RI.
Penyelidik mempunyai wewenang:
1) menerima laporan atau pengaduan
dari seseorang tentang adanya tindak Pidana;
2) mencari keterangan dan barang
bukti;
3) menyuruh berhenti seorang yang
dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
4) mengadakan tindakan lain
menurut hukum yang bertanggung jawab.
Atas perintah penyidik, penyelidik
dapat melakukan tindakan berupa:
a) penangkapan, larangan
meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan;
b) pemeriksaan dan penyitaan
surat;
c) mengambil sidik jari dan
memotret seseorang;
d) membawa dan menghadapkan seseorang
pada penyidik.
Setelah itu, penyelidik
berwewenang membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tindakan
tersebut di atas kepada penyidik. Selain selaku penyelidik, polisi bertindak
pula sebagai penyidik. Menurut Pasal 6 UU No.8/1981 yang bertindak sebagai
penyidik yaitu:
1) pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia;
2) pejabat pegawai negeri sipil
tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
Penyidik, karena kewajibannya
mempunyai wewenang sebagai berikut:
1) menerima laporan dan pengaduan
dari seorang tentang adanya tindak Pidana;
2) melakukan tindakan pertama pada
saat di tempat kejadian;
3) menyuruh berhenti seorang
tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
4) melakukan penangkapan,
penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
5) melakukan pemeriksaan dan
penyitaan surat;
6) mengambil sidik jari dan
memotret seseorang;
7) memanggil orang untuk didengar
dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
8) mendatangkan orang ahli yang
diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
9) mengadakan penghentian
penyidikan;
10) mengadakan tindakan lain
menurut hukum yang bertanggung jawab.
b. Kejaksaan
Dalam Undang-Undang No. 16 tahun
2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 1 dinyatakan bahwa “Jaksa
adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.”
Jadi, Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara
di bidang penuntutan. Sedangkan yang dimaksud penuntutan adalah tindakan
penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri yang berwenang
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan
supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang Pengadilan.
Berdasarkan penjelasan tersebut,
maka Jaksa (penuntut umum) berwewenang antara lain untuk: a) menerima dan
memeriksa berkas perkara penyidikan; b) membuat surat dakwaan; c) melimpahkan
perkara ke Pengadilan Negeri sesuai dengan peraturan yang berlaku; d) menuntut
pelaku perbuatan melanggar hukum (tersangka) dengan hukuman tertentu; e)
melaksanakan penetapan hakim, dan lain-lain. Yang dimaksud penetapan hakim
adalah hal-hal yang telah ditetapkan baik oleh hakim tunggal maupun tidak
tunggal (majelis hakim) dalam suatu putusan pengadilan. Putusan tersebut dapat
berbentuk penjatuhan pidana, pembebasan dari segala tuntutan, atau pembebasan
bersyarat.
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan
atau penegakan hukum, Kejaksaan berkedudukan sebagai lembaga pemerintahan yang
melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Berdasarkan Pasal 4 UU No.
16 tahun 2004 tentang "Kejaksaan Republik Indonesia" pelaksanaan
kekuasaan negara di bidang penuntutan tersebut diselenggarakan oleh:
1) Kejaksaan Agung, berkedudukan
di ibukota negara Republik Indonesia dan daerah hukumnya meliputi wilayah
kekuasaan negara Republik Indonesia.
2) Kejaksaan Tinggi, berkedudukan
di ibukota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi.
3) Kejaksaan negeri, berkedudukan
di ibukota kabupaten/kota yang daerah hukumnya meliputi daerah kabupaten/kota.
Tugas dan wewenang Kejaksaan bukan
hanya dalam bidang Pidana, tetapi juga di bidang Perdata dan Tata usaha negara,
di bidang ketertiban dan kepentingan umum, serta dapat memberikan pertimbangan
dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya. Dalam Pasal 30 UU No. 16
tahun 2004 tentang "Kejaksaan Republik Indonesia" dinyatakan bahwa di
bidang pidana,
kejaksaan mempunyai tugas dan
wewenang :
(a) Melakukan penuntutan;
(b) Melaksanakan penetapan hakim
dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
(c) Melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan
lepas bersyarat;
(d) Melakukan penyelidikan
terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
(e) Melengkapi berkas perkara
tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan
ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
Di bidang perdata dan tata usaha
negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di
luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. Dalam bidang
ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut meyelenggarakan kegiatan:
(a) Peningkatan kesadaran hukum
masyarakat;
(b) Pengamanan kebijakan penegakan
hukum;
(c) Pengawasan peredaran barang
cetakan;
(d) Pengawasan kepercayaan yang
dapat membahayakan masyarakat dan negara;
(e) Pencegahan penyalahgunaan
dan/atau penodaan agama;
(f) Penelitian dan pengembangan
hukum serta statik kriminal.
c. Kehakiman
Kehakiman merupakan suatu lembaga
yang diberi kekuasaan untuk mengadili. Adapun Hakim adalah pejabat peradilan
negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Menurut Pasal 1
UU Nomor 8 tahun1981 tentang Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengadili
adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus
perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang
pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang tersebut.
Dalam upaya menegakkan hukum dan
keadilan serta kebenaran, hakim diberi kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan. Artinya, hakim tidak boleh dipengaruhi oleh
kekuasaan-kekuasaan lain dalam memutuskan perkara. Apabila hakim mendapat
pengaruh dari pihak lain dalam memutuskan perkara, maka cenderung keputusan
hakim itu tidak adil, yang pada akhirnya akan meresahkan masyarakat dan wibawa
hukum dan hakim akan pudar.
2. Lembaga Peradilan
Penyelesaian perbuatan-perbuatan
yang melawan hukum dapat dilakukan dalam berbagai badan peradilan sesuai dengan
masalah dan pelakunya. Dalam bagian pertimbangan Undang-Undang No. 48 tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman menurut
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan
yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan.
Keempat lingkungan peradilan
tersebut masing-masing mempunyai lingkungan wewenang mengadili perkara tertentu
dan meliputi badan peradilan secara bertingkat. Peradilan militer, peradilan
Agama, dan peradilan Tata Usaha Negara merupakan peradilan khusus, karena
mengadili perkara-perkara tertentu atau mengadili golongan/kelompok rakyat
tertentu. Sedangkan peradilan umum merupakan peradilan bagi rakyat pada umumnya
baik mengenai perkara Perdata maupun perkara Pidana.
a. Peradilan Agama
Peradilan agama terbaru diatur
dalam Undang-Undang nomor 50 tahun 2009 sebagai perubahan kedua atas UU No. 7
tahun 1989. Berdasar undang-undang tersebut, Peradilan Agama bertugas dan
berwewenang memeriksa perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang
yang beragama Islam di bidang: a) perkawinan; b) kewarisan, wasiat, dan hibah
yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; c) wakaf dan shadaqah.
b. Peradilan Militer
Wewenang Peradilan Militer menurut
Undang-Undang Darurat No. 16/1950 yang telah diperbaharui menjadi UU No. 31
tahun 1997 tentang Peradilan Militer adalah memeriksa dan memutuskan perkara
Pidana terhadap kejahatan atau pelanggaran yang diakukan oleh:
1) seorang yang pada waktu itu
adalah anggota Angkatan Perang RI;
2) seorang yang pada waktu itu
adalah orang yang oleh Presiden dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan sama
dengan Angkatan Perang RI;
3) seorang yang pada waktu itu
ialah anggota suatu golongan yang dipersamakan atau dianggap sebagai Angkatan
Perang RI oleh atau berdasarkan Undang-Undang;
4) orang yang tidak termasuk
golongan tersebut di atas (1,2,3) tetapi atas Menteri Kehakiman harus diadili
oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan Militer.
c. Peradilan Tata Usaha Negara
Peradilan Tata Usaha Negara diatur
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 yang telah diperbaharui menjadi UU No. 9 tahun
2004. Dalam pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa Tata Usaha Negara adalah
administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan
pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Peradilan Tata Usaha Negara bertugas
untuk mengadili perkara atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
pegawai tata usaha negara. Dalam peradilan Tata Usaha Negara ini yang menjadi
tergugat bukan orang atau pribadi, tetapi badan atau pejabat Tata Usaha Negara
yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau
dilimpahkan kepadanya. Sedangkan pihak penggugat dapat dilakukan oleh orang
atau badan hukum perdata.
d. Peradilan Umum
Peradilan umum adalah salah satu
pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya. Rakyat
(pada umumnya) apabila melakukan suatu pelanggaran atau kejahatan yang menurut
peraturan dapat dihukum, akan diadili dalam lingkungan Peradilan Umum. Untuk
menyelesaikan perkara-perkara yang termasuk wewenang Peradilan umum, digunakan
beberapa tingkat atau badan pengadilan yaitu:
1) Pengadilan Negeri
Pengadilan negeri dikenal pula
dengan istilah pengadilan tingkat pertama yang wewenangnya meliputi satu daerah
Tingkat II. Misalnya: Pengadilan Negeri Bekasi, Pengadilan Negeri Tasikmalaya,
Pengadilan Negeri Bogor, dan sebagainya. Dikatakan pengadilan tingkat pertama
karena pengadilan negeri merupakan badan pengadilan yang pertama (permulaan)
dalam menyelesaikan perkara-perkara hukum. Oleh karena itu, pada dasarnya
setiap perkara hukum harus diselesaikan terlebih dahulu oleh pengadilan negeri
sebelum menempuh pengadilan tingkat Banding. Untuk memperlancar proses
pengadilan, di pengadilan negeri terdapat beberapa unsur yaitu: Pimpinan, Hakim
Anggota, Panitera, sekretaris, dan juru sita. Adapun Fungsi Pengadilan Negeri
adalah memeriksa dan memutuskan serta menyelesaikan perkara dalam tingkat
pertama dari segala perkara perdata dan perkara pidana sipil untuk semua
golongan penduduk.
2) Pengadilan Tinggi
Putusan hakim Pengadilan Negeri yang
dianggap oleh salah satu pihak belum memenuhi rasa keadilan dan kebenaran dapat
diajukan Banding. Proses Banding tersebut ditangani oleh Pengadilan Tinggi yang
berkedudukan di setiap ibukota Provinsi. Dengan demikian, pengadilan Tinggi
adalah pengadilan banding yang mengadili lagi pada tingkat kedua (tingkat
banding) suatu perkara perdata atau perkara Pidana, yang telah
diadili/diputuskan oleh pengadilan negeri. Pengadilan Tinggi hanya memeriksa
atas dasar pemeriksaan berkas perkara saja, kecuali bila Pengadilan Tinggi
merasa perlu untuk langsung mendengarkan para pihak yang berperkara.
Daerah hukum pengadilan tinggi
pada asasnya adalah meliputi satu daerah tingkat I. Menurut Undang-Undang No. 2
tahun 1986, tugas dan wewenang Pengadilan Tinggi adalah:
a) memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara Pidana dan Perdata di tingkat banding;
b) mengadili di tingkat pertama
dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Negeri di daerah
hukumnya.
Pengadilan Tinggi mempunyai
susunan sebagai berikut: Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera, dan Sekretaris.
Sedangkan pembentukan Pengadilan Tinggi dilakukan melalui Undang-Undang.
3) Pengadilan Tingkat Kasasi
Apabila putusan hakim Pengadilan
Tinggi dianggap belum memenuhi rasa keadilan dan kebenaran oleh salah satu
pihak, maka pihak yang bersangkutan dapat meminta kasasi kepada Mahkamah Agung.
Pengadilan tingkat Kasasi dikenal pula dengan sebutan pengadilan Mahkamah
Agung. Di negara kita, Mahkamah Agung merupakan Badan Pengadilan yang tertinggi,
dengan berkedudukan di Ibu kota negara RI. Oleh karena itu, daerah hukumnya
meliputi seluruh Indonesia.
Pemeriksaan tingkat kasasi hanya
dapat diajukan jika permohonan terhadap perkaranya telah menggunakan upaya
hukum banding, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang. Sedangkan permohonan
kasasi itu sendiri hanya dapat diajukan 1 (satu) kali.
Kewajiban pengadilan Mahkamah
Agung terutama adalah melakukan pengawasan tertinggi atas tindakan-tindakan
segala pengadilan lainnya di seluruh Indonesia, dan menjaga agar hukum
dilaksanakan dan ditegakkan dengan sepatutnya. Dalam pasal 24 ayat (2) UUD 1945
ditegaskan bahwa Kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.***)
Untuk mengatur lebih lanjut pasal
tentang kekuasaan kehakiman, sebelumnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor
14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah menjadi
UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam kaitannya dengan
masalah pengadilan, dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan bahwa Mahkamah
Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan:
a) permohonan kasasi;
b) sengketa tentang kewenangan
mengadili;
c) permohonan peninjauan kembali
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dalam menegakkan hukum dan
keadilan, hakim berkewajiban untuk memeriksa dan mengadili setiap perkara yang
diajukan. Oleh karena itu, hakim atau pengadilan tidak boleh menolak untuk
memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan dengan alasan hukumnya tidak atau
kurang jelas. Untuk itu, hakim diperbolehkan untuk menemukan atau membentuk
hukum melalui penafsiran hukum dengan tetap memperhatikan perasaan keadilan dan
kebenaran.
4) Penasehat Hukum
Penasehat hukum merupakan istilah yang ditujukan kepada pihak atau orang yang memberikan bantuan hukum. Yang dimaksud Penasehat hukum menurut KUHAP adalah seorang yang memenuhi syarat yang hukum. Diperbolehkannya menggunakan penasehat hukum bagi tertuduh/terdakwa merupakan realisasi dari salah satu asas yang berlaku dalam Hakum Acara Pidana, yang menyatakan bahwa "Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan untuk mendapatkan bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya.
Persoalan yang dihadapi sekarang
adalah sejak kapan seorang tertuduh/terdakwa mendapat bantuan hukum?
Berdasarkan Pasal 69 KUHAP ditegaskan bahwa "Penasehat hukum berhak
menghubungi tersangka sejak saat ditangkap atau ditahan pada semua tingkat pemeriksaan
menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang". Penasehat hukum
tersebut berhak menghubungi dan berbicara dengan tersangka pada setiap tingkat
pemeriksaan dan setiap waktu untuk kepentingan pembelaan perkaranya. Hak lain
yang dimiliki penasehat hukum sehubungan dengan pembelaan terhadap kliennya
(tersangka) adalah mengirim dan menerima surat dari tersangka setiap kali
dikehendaki olehnya.
Dalam melaksanakan bantuan hukum,
ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan oleh semua pihak, yaitu:
a) penegak hukum yang memeriksa
tersangka/terdakwa wajib memberi kesempatan kepada terdakwa untuk memperoleh
bantuan hukum;
b) bantuan hukum tersebut
merupakan usaha untuk membela diri;
c) tersangka/terdakwa berhak dan
bebas untuk memilih sendiri penasehat hukumnya.
Penasehat hukum ada yang berdiri
sendiri dan ada pula yang berhimpun dalam organisasi seperti: Lembaga Bantuan
Hukum (LBH), Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Ikatan Penasehat Hukum
Indonesia (IPHI), dan sebagainya.
4. Membangun Argumen tentang Dinamika dan Tantangan Penegakan Hukum yang Berkeadilan Indonesia.
Setelah Anda menelusuri sejumlah
peraturan perundangan tentang lembaga negara dan badan lain yang terkait dengan
penegakan hukum di Indonesia, apakah tantangan yang dihadapi oleh bangsa
Indonesia saat ini? Dapatkah Anda mengemukakan contoh dinamika kehidupan yang
sekaligus menjadi tantangan terkait dengan masalah penegakan hukum di
Indonesia? Coba Anda perhatikan sejumlah kasus dan peristiwa dalam kehidupan
sehari-hari seperti yang pernah kita lihat pada subbab di atas sebagai berikut.
§ Masih banyak perilaku warga
negara khususnya oknum aparatur negara yang belum baik dan terpuji, terbukti
masih ada praktik KKN, praktik suap, perilaku premanisme, dan perlaku lain yang
tidak terpuji.
§ Masih ada potensi konflik dan
kekerasan sosial yang bermuatan SARA, tawuran, pelanggaran HAM, dan sikap
etnosentris.
§ Maraknya kasus-kasus
ketidakadilan sosial dan hukum yang belum diselesaikan dan ditangani secara
tuntas.
Banyaknya kasus perilaku warga
negara sebagai subyek hukum baik yang bersifat perorangan maupun kelompok
masyarakat yang belum baik dan terpuji atau melakukan pelanggaran hukum
menunjukkan bahwa hukum masih perlu ditegakkan. Persoalannya, penegakan hukum
di Indonesia dipandang masih lemah. Dalam beberapa kasus, masyarakat dihadapkan
pada ketidakpastian hukum. Rasa keadilan masyarakat pun belum sesuai dengan
harapan. Sebagian masyarakat bahkan merasakan bahwa aparat penegak hukum sering
memberlakukan hukum bagaikan pisau yang tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas.
Apabila hal ini terjadi secara terus menerus bahkan telah menjadi suatu yang
dibenarkan atau kebiasaan maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi revolusi
hukum. Oleh karena itu, tantangan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini
adalah menghadapi persoalan penegakan hukum di tengah maraknya pelanggaran
hukum di segala strata kehidupan masyarakat. Di era globalisasi yang penuh
dengan iklim materialisme, banyak tantangan yang dihadapi oleh aparat penegak
hukum. Mereka harus memiliki sikap baja, akhlak mulia, dan karakter yang kuat
dalam menjalankan tugas.
Dalam hal ini, aparatur penegak
hukum harus kuat dan siap menghadapi berbagai cobaan, ujian, godaan yang dapat
berakibat jatuhnya wibawa sebagai penegak hukum. Penegak hukum harus tahan
terhadap upaya oknum masyarakat atau pejabat lain yang akan mencoba menyuap,
misalnya. Selain itu, Pemerintah perlu melakukan upaya preventif dalam mendidik
warga negara termasuk melakukan pembinaan kepada semua aparatur negara secara
terus menerus. Apabila hal ini telah dilakukan, maka ketika ada warga negara
yang mencoba melakukan pelanggaran hukum pihak aparatur penegak hukum harus
bekerja secara profesional dan berkomitmen menegakkan hukum.
5. Esensi dan Urgensi Penegakan Hukum yang
Berkeadilan Indonesia
Pernahkah Anda berpikir apa yang akan terjadi seandainya di sebuah bangsa tidak ada peraturan hukum? Atau mungkin peraturan hukum sudah ada, namun apa yang akan terjadi apabila di negara-bangsa tersebut tidak ada upaya penegakan hukum? Benarkah penegakan hukum itu penting dan diperlukan? Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu, bahwa sudah sejak lama Cicero menyatakan Ubi Societas Ibi Ius, di mana ada masyarakat, di sana ada hukum. Bahkan, apabila kita kaji kitab suci yang diturunkan oleh Tuhan Yang Maha Esa, Anda pasti akan menemukan betapa banyak aturanaturan yang dinyatakan dalam setiap ayat kitab suci tersebut. Namun, tampaknya ada peraturan hukum saja tidak cukup. Tahap yang lebih Bagaimana pendapat Anda setelah menyimak kasus di atas? Setujukah Anda dengan tindakan pihak pengadilan terhadap perbuatan siswa SMK? Bagaimana dengan Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak? Apakah perbuatan siswa SMK dapat dibenarkan dalam sistem hukum di Indonesia?
Dari fakta tersebut sangat jelas bahwa keberadaan hukum dan upaya penegakannya sangat penting. Ketiadaan penegakan hukum, terlebih tidak adanya aturan hukum akan mengakibatkan kehidupan masyarakat “kacau” (chaos). Negara-Bangsa Indonesia sebagai negara modern dan menganut sistem demokrasi konstitusional, telah memiliki sejumlah peraturan perundangan, lembaga-lembaga hukum, badan-badan lainnya, dan aparatur penegak hukum. Namun, demi kepastian hukum untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat, upaya penegakan hukum harus selalu dilakukan secara terus menerus.
Penting adalah penegakan dan kepastian hukum. Penegakan hukum bertujuan
untuk mewujudkan peraturan hukum demi terciptanya ketertiban dan keadilan
masyarakat. Apa yang tertera dalam peraturan hukum (pasal-pasal hukum material)
seyogianya dapat terwujud dalam proses pelaksanaan/penegakan hukum di
masyarakat. Dengan kata lain, penegakan hukum pada dasarnya bertujuan untuk
meningkatkan ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat sehingga
masyarakat merasa memperoleh perlindungan akan hak-hak dan kewajibannya.
Link referensi :
9-PendidikanKewarganegaraan.pdf
http://brahmanaaji.blogspot.com/2019/10/tugas-pkn-2.html
https://raffimaulana27.blogspot.com/2022/11/1pa18raffi-maulanat1-revisi-resume.html
Komentar
Posting Komentar